Rabu, 18 Oktober 2017

Tarekat Bektasyi dan Maulawiyah



MAKALAH
PERAN DUA TAREKAT PADA MASA TURKI UTSMANI



Mata Kuliah Sejarah Umat Islam (Turki dan Persia)
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Siti Maryam, M.Ag


Oleh :
M. Firman Kaisa (NIM. 16120015)
Tri Kodariya Nisa (NIM.16120016)

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
2017



BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

            Sebagai negara yang menganut sistem kesultanan, Turki Utsmani menjadikan hukum Islam sebagai hukum negara. Hukum negara ini berdasarkan fatwa ulama, karena kerajaan ini  sangat terikat oleh syari’at. Agama mempunyai peranan penting dalam pemerintahan serta kehidupan sosial. Pada masa pemerintahan Sulaiman al-Qanuni, masyarakat yang beragama Islam diwajibkan untuk melaksanakan sholat lima waktu. Hal ini menunjukkan bahwa agama dijadikan sebagai dasar peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat.
Pada masa pemerintahan Turki Utsmani perkembangan kegamaan terlihat sangat pesat. Dapat di lihat dari banyaknya tarekat-tarekat yang bermunculan, terdapat dua tarekat yang paling berkembang, yaitu tarekat Maulawiyah dan tarekat Bektasyiyah.Kedua tarekat ini memiliki peran penting dalam perkembangan bidang keagamaan Turki Utsmani. Penganutnya mayoritas masyarakat sipil dan militer.

B.     Rumusan Masalah

a)      Bagaimana perkembangan tarekat Maulawiyah dan adakah pengaruhnya terhadap pemerintahan Turki Utsmani?
b)      Bagaimana perkembangan tarekat Bektasyiyah dan adakah pengaruhnya terhadap pemerintahan Turki Utsmani?

C.    Tujuan

a)      Untuk mengetahui perkembangan dan pengaruh tarekat yang ada dalam masa pemerintahan Turki Utsmani.
b)      Memberikan wawasan mengenai tarekat-tarekat yang berkembang pada masa Turki Utsmani.



BAB II

PEMBAHASAN


A.  Sejarah Perkembangan Dan Pengaruh Tarekat Maulawiyah

1.      Sejarah Munculnya Tarekat Maulawiyah.
Tarekat Maulawiyah adalah salah satu aliran tarekat, didirikan oleh Maulana (Mevlana) Jalaluddin al-Rumi (605-672 H/1207-1273 M) pada abad ke-13. Tarekat ini berpusat di Konya, Turki.  Nama Maulawiyah di nisbahkan kepada gelar Maulana atau Mevlana,  dalam bahasa Turki. Gelar maulana merupakan gelar kehormatan untuk seorang sufi penyair. Tarekat Maulawiyah juga biasa dikenal dengan sebutan Tarekat Jalalilah, karena didirikan oleh Jalaluddin al-Rumi.
Jalaluddin al-Rumi lahir di Balkh, Persia[1]  pada 30 September 1207 M/604 H.[2] Ayahnya bernama Bahauddin Walad Muhammad bin Husin, seorang pemikir islam yang terkemuka pada masa itu. Beberapa mengatakan bahwa silsilah al-Rumi sampai kepada Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq.
Al-Rumi mulai tertarik terhadap tasawuf ketika bertemu dengan Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmuzi. At-Turmuzi ini adalah bekas murid dari ayahnya ketika mengajar di Balkh. Dari at-Turmuzi inilah al-Rumi mulai tertarik mempelajari tasawuf. Ia belajar kepada at-Turmuzi tentang rahasia pemikirran tasawuf secara mendalam untuk mencapai persatuan dengan Tuhan. Sepeninggal at-Turmuzi Jalaluddin al-Rumi menggantikannya sebagai syekh tarekat.
Pada tahun 1244, sepeninggal at-Turmuzi, al-Rumi bertemu dengan seorang Darwis (pengelana) bernama Syamsuddin at-Tabrizi. Dari pertemuan tersebut kemudian al-Rumi berguru dengan at-Tabrizi. At-Tabrizi ini adalah guru yang sangat dicintai oleh al-Rumi. Ketika at-Tabrizi wafat, al-Rumi menulis Diwan Shams-I Tabriz, kumpulan syair sebagai penghormatan serta ungkapan kesedihan mendalam kepada at-Tabrizi.
Setelah meninggalnya Syamsuddin at-Tabrizi, Al-Rumi menunjuk Salahuddin Zarqub sebagai khalifahnya (pengganti) untuk mengajarkan ritual-ritual Tarekat Maulawiyah. Setelah Salahuddin wafat kemudian digantikan oleh Hasanuddin Hasan bin Muhammad bin Hasan bin Akhi Turk.[3]  Hasanuddin inilah yang kemudian meminta kepada gurunya, Jalaluddin al-Rumi, untuk membuat sebuah karya tasawuf.  Dari permintaan Hasanuddin munculah karya tasawuf yang di beri nama al-Masnawi. Kitab al-Masnawi ini berisi tentang nasihat-nasihat moral sampai kebijaksanaan hidup yang pantas untuk diteladani. Al-Masnawi ini adalah baris-baris sajak Jalaluddin al-Rumi yang ditulis oleh Hasanuddin, terdiri dari 25.000 baris yang terbagi menjadi enam jilid, dan disusun selama 14 tahun.[4]
Tarekat Maulawiyah baru menjadi sebuah lembaga setelah sepeninggal al-Rumi (17 Desember 1273 M/672 H di Konya, Turki), yaitu ketika Tarekat ini di pimpin oleh anaknya, Sultan Walad, pada tahun 1284 M.[5] Sultan Walad mulai mengatur ritual-ritual tarian dan mengukuhkan hirarki tarekat.
2.      Ritual-Ritual Tarekat Maulawiyah.
Sebagai sebuah Tarekat, Tarekat Maulawiyah mempunyai beberapa ritual. Salah satu ritual yang biasanya di adakan seusai sholat jum’at adalah ritual Sama’, yaitu tarian berputar.  Mereka memakai pakaian khusus yang terdiri dari topi yang disebut sikke, baju panjang putih tanpa lengan (tenure), jaket berlengan panjang (destegul), ikat pinggang (elif lam-end), dan sebuah mantel hitam (khirqe). Untuk khirqe ini di lepas sebelum ritual tarian dimulai.
       Ritual sama’ dilakukan dengan diiringi oleh musik dan nyanyian. Dalam upacara tersebut, seorang syekh akan berdiri di sudut yang paling terhormat dan para penari akan melewatinya sebanyak tiga kali. Setiap satu kali melewati mereka member salam, baru kemudian mereka melakukan gerakan berputar-putar. Gerakan ini dilakukan dengan tangan dan kaki yang berputar dengan kecepatan yang perlahan-lahan meningkat. Apabila ada salah satu penari yang semakin lama semakin cepat akan di sentuh oleh salah seorang dari penari yang bertugas untuk menyelaraskan tarian, agar ritme tarian tidak terlalu cepat.
       Tarian ini dimulai dengan diringi oleh nyanyian pujian untuk menghormati Nabi Muhammad dan berakhir dengan nyanyian pendek penuh semangat yang terkadang dinyanyikan dalam bahasa Turki.
       Jalaluddin al-Rumi mengibaratkan tarian ini seperti pembuat anggur yang menginjak buah anggur sehingga tercipta anggur rohani. Sama’ menurut al-Rumi adalah makan rohani seperti zikir yang didalamnya terdapat manusia yang berputar mengitari pusat gaya berat rohani, yaitu Tuhan.[6]
       Ritual Sama’ dilakukan di tempat khusus bernama Tekya, atau ada yang menyebutnya Tekke, yaitu tempat ibadah para sufi Maulawiyah. Ketika saat melakukan ritual Sama’, biasanya diletakkan sebuah kulit domba berwarna merah diatas lantai sebagai symbol keberadaan Samsyuddin at-Tabrizi. Tarian ini memperagakan empat gerakan yang dinamakan salam.[7] Gerakan ini dilakukan selama satu jam, setelah itu baru kemudian pada akhir tarian muncul seorang pir atau guru spiritual di tengah-tengah para penari.
3.      Pengaruh Tarekat Maulawiyah Terhadap Kesultanan Utsmani
Tarekat Maulawiyah mempunyai pengaruh terhadap Kesultanan Utsmani dan dikalangan seniman. Pada 1648 M pemimpin Tarekat Maulawiyah mendapatkan hak istimewa dari Kesultanan Utsmani berupa hak istimewa untuk memakaikan pedang kepada seorang sultan yang baru dilantik. Diantara beberapa sultan yang tercatat sebagai anggota tarekat ini adalah, Sultan Abdul Aziz (1861-1876) dan Sultan Rasyad (Muhammad V, memerintah 1909-1918).
Para sultan Utsmani mendekati Tarekat Maulawiyah untuk menghadapi penganut Tarekat Bektastyi yang mendukung pasukan Jenissary untuk melawan pemerintah. Pada 1634 Sultan Murad IV (1623-1640) memberikan kharaj, biaya untuk kegiatan Tarekat Maulawiyah yang dikumpulkan dari umat Islam.
Tarekat Maulawiyah banyak memberikan pengaruh terhadap bidang musik dan seni pada zaman Kesultanan Utsmani. Salah satu musik klasik pada saat itu, yaitu musik gubahan ‘Itri (abad XVII), digubah oleh seniman-seniman yang menjadi anggota Tarekat Maulawiyah atau paling tidak mempunyai hubungan erat dengan tarekat ini. Begitu juga dengan para seniman kaligrafi dan miniaturis, banyak diantara mereka tergabung dalam Tarekat Maulawiyah.
Pada abad ke-17 Tarekat Maulawiyah mendapatkan perlindungan dari sultan. Hal ini memungkin untuk menyebarkan ajaran tarekat meluas ke seluruh Turki. Kemudian pada abad ke-19 tarekat ini menjadi kelompok yang paling berpengaruh di Kesultanan Utsmani. Pada saat Mustafa Kemal Ataturk berkuasa, ia mengeluarkan dekrit 4 Desember 1925, yang isinya menutup semua aktifitas tekye di Turki. Mustafa Kemal beranggapan bahwa ajaran tarekat dapat menghambat modernisasi Turki. Akan tetapi pada tahun 1954 tarekat ini di perbolehkan kembali melakukan ritualnya.

B.  Sejarah Perkembangan Dan Pengaruh Tarekat Bektasyiyah

1.    Bektasyiyah dan Tentara Jenisseri
Pada mulanya, Bektasyiyah merupakan tarekat hasil dari perkembangan Tarekat Yasawiyah yang didirikan oleh Ahmad al-Yasawi yang wafat pada 562 H. Tarekat Bektasyiyah ini didirikan oleh Hajji Bektasyi pada 1338 M, beliau ke Anatolia pada abad XIII M dari Khurasan, ia wafat pada 738 H/1338 M. Pengikut tarekat ini lebih dikenal sebagai pengikut tarekat sufi. Tarekat ini mengandung berbagai percampuran keyakinan dan peribadatan yang didalamnya termasuk unsur Syiah, Kristen, bahkan Budha. Tarekat Bektasyiyah ini berkembang pesat saat pemerintahan Khedive Ismail, kira-kira pada abad ke-17 dan ke-18 M.
       Tarekat Bektasyiyah ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan kemiliteran Turki Utsmani secara khusus, mayoritas pengikutnya berasal dari kalangan sipil. Aliran Bektasyiyah ini berperan sangat penting di kalangan tentara Jenisseri, yaitu sebuah kelompok perang yang telah menjadi pedang Kesultanan Turki Utsmani. Pasukan Jenisseri ini dibentuk oleh Sultan Murad I (1359-1389). Jenisseri awalnya adalah anak-anak dari kalangan umat Kristen yang kehilangan ayah ibunya akibat perang. Kemudian anak-anak tersebut diasramakan dengan bimbingan keislaman yang dibentuk oleh pemuda-pemuda Kristen Balkan yang telah memeluk Islam. Mereka dilatih, diajar, dan didoktrin untuk membela Islam serta mengawal Kesultanan Turki Utsmani.
       Hubungan antara tarekat Bektasyiyah dengan tentara Jenisseri begitu erat, karena banyaknya anggota tentara yang mengikuti aliran ini maka mereka disebut dengan tentara Bektasyi. Tarekat Bektasyiyah ini identik dengan Jenisseri dimulai pada abad XV, pemimpin Bektasyi tinggal di dekat barak orang Jenisseri. Tidak jarang mereka memberikan pengarahan serta pembinaan rohani kepada tentara Jenisseri.
2.    Silsilah Tarekat Bektasyiyah
Setelah Hajji Bektasyi wafat, beliau digantikan oleh Balim Sultan yang lahir pada 1500 M di Rumeli. Pada masa Balim Sultan, perkembangan tarekat ini semakin berkembang dan meluas sampai ke Eropa (merupakan wilayah akomodatif terhadap adanya Bektasyi) dan Kerajaan Turki Utsmani. Wilayah ini menerima dengan baik ajaran Tarekat Bektasyiyah, hingga sekarang tarekat ini pun masih ada di Albania yang dikenal sebelum abad ke-17. Hajji Bektasyi merupakan pengikut aliran Sunni yang begitu kental, namun seiring dengan berjalannya waktu dan semakin banyak perkembangan yang terjadi, banyak ide-ide Syiah yang mulai masuk ke dalam ajaran Bektasyi.
3.    Tradisi Bektasyiyah
Dalam Tarekat Bektasyiyah memiliki tradisi seperti adanya tingkatan-tingkatan dari yang tinggi hingga terendah. Misalkan seperti tingkat termasuk golongan guru, sedangkan yang rendah ibaratkan murid. Pimpinan tarekat tertinggi ialah dede (kakek) di Desa Hacci Bektas. Kedudukan setelah dede ialah baba, bertugas untuk mengajar dan membimbing. Baba-baba ada diseluruh Kerajaan Turki Utsmani.Baba juga disebut sebagai wakil dari pemimpin tarekat, yang berada di daerah cabang tarekat ini.
Bektasyiyah memiliki sebuah tradisi unik, yaitu pembaiatan yang dilakukan pengikut Bektasyi guna untuk meningkatkan status sosial mereka yang biasa-biasa saja ke jenjang yang lebih tinggi. Pembaiatan ini disertai adanya sebuah upacara, yang mana dalam pelaksanaannya dilakukan secara bersama-sama. Saat pembaiatan berlangsung, pengikut Bektasyiyah ini sering menirukan ‘jeritan penyatuan’ Ana al-Haqq dengan suara yang menggema.
Selain pembaiatan, perayaan Muharam dan tahun baru juga diadakan dengan menggunakan tradisi Persia dan juga disertai dengan keagamaan yang beraliran Syiah. Perayaan lainnya ialah peringatan hari kesyahidan Husein di Karbala pada hari Asyura, dalam perayaan ini terdapat sebuah hidangan yang disebut asure yang dimasak dari sisa-sisa. Hidangan ini merupakan hidangan terakhir para syuhada di Karbala, sampai sekarang penyajian hidangan pada 10 Muharam, masih di lestarikan masyarakat Turki meskipun bukan orang Bektasyi.

4.    Karakteristik Bektasyiyah
Suatu hal yang paling tersorot dari tarekat Bektasyiyah ialah perlakuan yang sama terhadap wanita. Kaum wanitalah yang paling berperan dalam setiap upacara, wanita bebas berinteraksi dan bercakap-cakap dengan kaum pria. Namun hal ini malah dijadikan pembicaraan tentang moral dan amoral dalam kehidupan orang-orang Bektasyi dan dibesar-besarkan dengan tujuan untuk menghancurkan Tarekat Bektasyiyah. Sebenarnya mereka telah menutup rapat-rapat mengenai doktrin yang dianggap rahasia, terutama setelah pasukan Jenisseri musnah. Namun banyak orang yang terus membesar-besarkan doktrin tersebut khususnya mengenai kedudukan wanitanya.
Tarekat ini menekankan empat pintu gerbang bagi para pengikutnya dan harus dilaluinya. Empat pintu tersebut antara lain : 1) Hukum Ilahi (syari’ah)yang penganutnya disebut abid (hamba/pemuja). 2) Jalan mistik (tariqah) dijalani oleh orang zuhud. 3) arif(orang yang berilmu) diambil dari ma’rifah (pengetahuan yang tertinggi). 4) Haqiqah (realitas)yang dimbil ialah muhbib (kekasih).

Hancurnya tarekat bektasyiyah pada Juni 1826, Sultan Mahmud II (1808-1839) sengaja memancing sebuah insiden yang membuat pasukan Jenisseri seolah-olah akan melakukan pemberontakan. Kejadian tersebut dijadikan alasan untuk membubarkan pasukan Jenisseri. Markas mereka yang ada di Aksaray dibombadir, yang mana banyak pasukan yang berada didalamnya. Pasukan Jenisseri hampir semua mati terbunuh dan tertangkap atas kejadian tersebut. Dengan demikian tarekat sufi Bektasyi dibubarkan pula.
Tarekat Bektasyiyah sangat berperan dalam bidang kemiliteran Turki Utsmani, Tarekat ini memperkuat pasukan Jenissari yang merupakan ciri dari Turki Utsmani. Pasukan ini begitu taat pada sisi agama, sehingga aliran ini berkembang sangat pesat dilingkup kemiliteran. Pembinaan yang diberikan sebelum perang, menambah ketaatan pasukan dan semangat untuk menegakkan Islam. Tarekat Bektasyiyah ini juga menanamkan ajaran Islam sejak dini pada anak-anak yang berada dalam pembinaan Jenissari, sehingga mereka sangat taat dan berhasrat untuk menyebarkan serta menegakkan tarekat Bektasyiyah.


BAB III
KESIMPULAN
Pada masa pemerintahan Kesultanan Utsmani banyak kegiatan keagamaan yang muncul, salah satunya adalah tarekat. Tarekat berhubungan erat dengan seorang sufi, orang yang mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Di masa Kesultanan Utsmani terdapat sekitar sembilan belas aliran sufi dan sekitar tiga puluh kelompok tarekat. Dari sekian banyak kelompok tarekat yang ada, diantaranya memiliki pengaruh yang besar terhadap Kesultanan Utsmani.
Tarekat Maulawiyah dan Tarekat Bektasyiah memiliki pengaruh terhadap Kesultanan Utsmani. Tarekat Maulawiyah berpengaruh di lingkungan keluarga sultan dan kalangan sipil. Tarekat Bektasyiah mempunyai pengaruh yang besar terhadap pasukan Jenisary.
Pada masa Kesultanan Utsmani, Tarekat Maulawiyah pernah mendapatkan keistimewaan dai sultan. Kemudian pada tahun 1925 M, pada masa Mustafa Kemal Ataturk, tarekat ini sempat dilarang sampai kemudian diperbolehkan lagi oleh pemerintahan Turki pada tahun 1954 M.
 Tarekat Bektasyiah mempunyai pengaruh besar terhadap pasukan militer Jenisary Kesultanan Utsmani. Para tentara Jenisary banyak yang menganut ajaran tarekat ini. Pemimpin Tarekat Bektasyiah juga bergabung tinggal di barak tentara untuk mengajarkan ajaran dan ritual-ritual tarekat. Tarekat ini berakhir ketika Sultan Mahmud II, pada tahun 1826, memancing sebuah insiden yang membuat Jenisary seolah-olah akan membuat pemberontakan. Dari insiden tersebut Sultan Mahmud II memerintahkan untuk membombardir markas Jenisary yang ada di Aksaray. Penyerangan ini menyebabkan banyaknya pasukan Jenisary yang terbunuh. Dalam penyerangan ini juga menjadikan akhir dari Tarekat Bektasyiah.


DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafii. 2012. Ensiklopedia Peradaban Islam ISTANBUL. Jakarta Selatan.
Tazkia Publishing.
Azra, Azyumardi. 2008. Ensiklopedi Tasawuf Jilid 1. Bandung. Angkasa.
Azra, Azyumardi, dkk. 2002.  Ensiklopedi Islam. Jakarta. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
















                                                                 


[1] Daerah Balkh sekarang masuk dalam wilayah Afganistan.
[2] Azra, Azyumardi, dkk. Ensiklopedi Islam Juz 3 hal.209. Jakarta. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 2002.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid. hal. 211.
[7] Azra, Azyumardi. 2008. Ensiklopedi Tasawuf Jilid 2. Bandung. Angkasa.

Sejarah Arab Klasik



RESUME
SEJARAH ARAB KLASIK:
Kajian Terhadap Masyarakat Arab Jahiliyah
1.        Asal Usul Bangsa Arab
Bangsa Arab berasal dari suku bangsa yang tinggal di Jazirah Arabia, dan daerah Babilonia, Asyiria, Finiqia, Cheldan, Amoriyah, Yaman Kuno, Arma Finisia, Ibrani dan Abbesinia. Bangsa Arab ini termasuk rumpun bangsa Semit (Samiyah) dan menggunakan bahasa Semit. Suku ini mayoritas adalah penduduk di Dunia Arab, baik di Timur Tengah maupun Afrika Utara, serta sebagian minoritas penduduk di IranTurki serta komunitas diaspora lainnya di berbagai negara. Seseorang umumnya dianggap sebagai Arab dilihat dari latar-belakang mereka, baik secara etnisbahasa, maupun budayanya. Secara politis, orang Arab adalah mereka yang berbahasa ibu Arab dan berayah keturunan Arab pula. Selain di Iran dan Turki, juga terdapat sejumlah besar diaspora Arab di Amerika dan Eropa.
2.        Masyarakat Klasik Pra Islam
Bangsa Arab pra Islam dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, Al-Arab al-Baidah merupakan bangsa Arab yang musnah, berasal dari keturunan Irom bin Saih, hanya saja sedikit yang mengetahui jejak serta kabar mereka yang terputus, sehingga dikatakan telah musnah. Nash-nash dari kitab suci atau beberapa peninggalan prasasti yang mengetahui informasi terkait dengan sejarah adanya bangsa ini pun terbatas. Kaum ‘Ad, Tsamud dan Irom termasuk dalam komunitas ini. Kedua, Al-Arab al-Baqiah merupakan komunitas yang eksis, berasal dari keturunan Sam bin Nuh, eksistensi komunitas sosialnya tetap terpelihara dalam sejarahnya. Bangsa Arab Jahiliyah termasuk dalam komunitas ini.
Al-Arab al-Baqiah digolongkan menjadi dua klan besar. Pertama, Klan Qohton berada di Arab Selatan, bangsa ini disebut komunitas Arab asli karena keturunannya tidak ada yang menikah dengan suku lain. Kedua, Klan Adnan merupakan suku yang tinggal di wilayah Arab Utara. Klan ini sering disebut al-Arob al-Musta’robah atau al-Arob al-Muta’arrobah (komunitas Arab pendatang). Disebut Arab pendatang karena salah satu keturunannya ada yang menikah dengan non Arab.
3.        Masyarakat Arab Jahiliyah
Kata Jahiliyah berasal dari kata Jahl yang secara harfiah berarti bodoh, pandir, atau tidak tahu. Ada juga yang mengartikan sebagai al-safah yaitu jelek budi pekertinya atau tolol, al-ghodob; suka marah, al-nazak; suka terburu nafsu. Kata Jahl lebih tepat diartikan sebagai perilaku yang mudah marah, lebih mengutamakan nafsu daripada akal pikiran, merendahkan orang lain dan sebagainya. Dalam al-Qur’an telah disebutkan sebanyak lima kali, yang semuanya menerangkan bahwa kata jahl selalu berkaitan dengan akhlak tercela.
Masyarakat Arab Jahiliyah merupakan masyarakat Arab pra Islam yang tinggal disekitar jazirah Arabia. Sebagian besar tanahnya tandus dan gersang, namun disanalah tempat munculnya komunitas-komunitas sosial bangsa Arab Jahiliyah.
Secara sosiologis, bangsa Arab Jahiliyah dibagi menjadi dua kelompok. Pertama kelompok masyarakat yang telah berperadaban (al-Arab al-Mutahadiroh), masyarakat ini telah hidup menetap di kota Mekkah atau disekitar Hijaz dan mengalami penetrasi akulturasi budaya dengan non Arab. Kedua, masyarakat Arab Primitif (al-Arab al-Badawah), hidupnya nomaden karena tanah yang tandus dan sedikit turun hujan, di pedalaman Jazirah Arabia dan terisolisir dari peradaban dan pengaruh bangsa non Arab. Awalnya kedua bangsa ini menetap di Arab bagian selatan.
4.        Agama dan Sistem Kepercayaan Arab Jahiliyah
Agama dan kepercayaan heterogen lebih kurang 6 yang dianut masyarakat Jahiliyah. Enam agama dan kepercayaan tersebut ialah Paganisme, Agama Samawi, Agama Ardhi, Animisme dan Dinamisme, Zindiq dan al-Dahriyah. Mayoritas masyarakat Arab Jahiliyah ini menganut sistem kepercayaan Paganisme. Sedangkan  sistem kepercayaan minoritas bangsa ini ialah al-Zindiq dan Agama Majusi. Agama Yahudi dan Nasrani hanya berkembang di wilayah tertentu. Kepercayaan Animisme dan Dinamisme dianut oleh kelompok Ashobi’in. Al-Dahriyah suatu kepercayaan yang meyakini adanya kehidupan dunia belaka, berkembang di Jazirah Arab.
Penyembahan berhala yang menjadi mayoritas berawal dari masyarakat yang berkelana, kemudian membawa batu yang berada disekitar ka’bah kemudian disucikan dan disembahnya. Secara terus-menerus hal itu dilakukan sehingga dibuatlah patung yang mereka sembah dengan mengitarinya (tawaf). Bangsa Arab percaya bahwa menyembah berhala tersebut hanyalah sebagai perantara untuk menyembah Tuhan dan bukan menyembah bentuknya. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Arab Jahiliyah telah meyakini adanya Tuhan. Kepercayaan seperti ini disebut musyrik, yaitu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain. Penyembahan kepada berhala ini disertai dengan adanya pengorbanan, agar mereka mendapat kasih sayang dari Tuhan yang lebih. Patung berhala dijadikan sebagai sarana untuk berhubungan dengan suatu kekuatan diluar kemampuan manusia.  Penyembahan berhala ini tidak hanya dilakukan di kawasan Arab, namun telah meluas ke seluruh dunia.
5.        Sistem Sosial Politik Arab Jahiliyah
Sebelum adanya Islam, masyarakat Arab tinggal di dusun sebagai nomaden. Hal ini dikarenakan tidak adanya raja yang berkuasa penuh serta kesatuan politik.
Politik Arab Jahiliyah memiliki dua point penting, yaitu sistem tribalisme dan stratifikasi sosial. Sistem tribalisme merupakan sistem yang mengutamakan kesukuan yang didasarkan pada kesamaan asal-usul keturunan (darah) dan wilayah. Sistem ini memiliki seorang pemimpin, anggota suku, dan undang-undang. Sedangkan sistem stratifikasi sosial, berlaku disetiap suku yang didasarkan pada kesamaan keturunan, kekayaan serta kedudukan dalam pranata sosial.
Stratifikasi ini memiliki tiga tingkatan, yaitu elite, mawalie, dan kelas hamba sahaya. Kelas elite merupakan suku asli yang satu keturunan dengan kepala suku dan mempunyai hak istimewa sebagai pilar penerus kepemimpinan. Mawalie ialah kelompok hamba sahaya yang sudah dimerdekakan dan penjahat yang meminta suaka terhadap suku lain agar diterima menjadi anggota sukunya. Kelas hamba sahaya yaitu kelompok hasil adopsi dari negara lain, yang kemudian dijadikan sebagai budak.
6.        Mata Pencaharian Arab Jahiliyah
Perekonomian masyarakat Arab Jahiliyah bertumpu pada kegiatan perdagangan, pertanian, industri dan peternakan. Kegiatan perdagangan  merupakan sumber perekonomian dari masyarakat Hadhor yang memberikan keuntungan besar terhadap pendapatan negara. Hal ini didukung oleh letaknya yang strategis pada jalur persimpangan yang menghubungkan perjalanan dari Yaman ke Siria dan Abessinia ke Irak.
Negeri Arab juga terkenal sebagai negeri yang memiliki tanah gersang, kering, banyak bukit-bukit gundul tanpa adanya tumbuhan. Gurun yang terbentang luas dan tidak memungkinkan masyarakatnya untuk bertani. Namun, tidak semua bentangan padang pasir itu gersang dan tandus. Kelompok Yahudi yang termasuk komunitas masyarakat miskin, mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Daerah yang dijadikan lahan untuk bertani pun merupakan daerah yang relatif subur, sehingga dapat dijadikan sebagai tempat bercocok tanam, khususnya tanaman kurma. Kegiatan bertani ini tidak begitu disukai oleh masyarakat Badui, karena pekerjaan ini merupakan pekerjaan untuk orang-orang miskin dan dianggap dapat menurunkan martabat mereka.
Kegiatan beternak merupakan sumber kehidupan bangsa Arab Badui (primitif). Mereka umumnya mengembala unta dan kambing, untuk memenuhi kebutuhan ternak mereka hidup nomaden menyusuri setiap jalan yang terdapat tumbuhan. Sedangkan kegiatan industri hanya dilakukan oleh sebagian kelompok Yahudi di Yatsrib dan Nasrani di Najran.
7.        Turats Arab Jahiliyah
Makkah dijadikan sebagai sentral perdagangan dan kebudayaan di negeri Hijaz, selain itu Makkah selalu ramai dikunjungi peziarah saat musim haji. Hal ini merupakan faktor timbulnya akulturasi sosial kemasyarakatan diantara mereka. Mereka menyenandungkan syair-syair kepahlawanan dan menceritakan tentang asal usul mereka.
Puisi memiliki nilai urgensi historis yang berkedudukan sebagai Diwan al-arab (Jahiliyah) yang merekam corak budaya dan tradisi kehidupan sosial dengan bentuk teks puisi Jahiliyah. Puisi digunakan sebagai sarana kultural dan alat komunikasi. Puisi terkait dengan aspek sosial, kebiasaan bangsa Arab yang suka menonjolkan kemampuan dari sukunya sendiri kepada suku lain yang diutarakan dalam bentuk syair dan merupakan sarana untuk meningkatkan status sosial.
8.        Karakteristik Masyarakat Arab Jahiliyah
Bangsa Arab Jahiliyah merupakan bangsa yang terkenal dengan agamanya, yaitu paganisme. Penyembahan berhala menjadi ciri khas bangsa ini, meskipun mereka meyakini adanya Tuhan sebagai pengatur alam semesta tetapi pikiran mereka tidak dapat memahami ajaran tauhid yang jernih, murni dan tinggi. Mereka menyembah sebuah patung yang dibuatnya sendiri serta melakukan pengorbanan demi limpahan kasih sayang Tuhan.
Ibnu Khaldun, mengatakan paada masa jahiliyah, bangsa Arab adalah orang yang tidak beradab, gemar melakukan kerusakan, perampasan, memiliki sifat yang sukar tunduk kepada pemimpin, tidak berbakat dalam pekerjaan pertukangan ataupun mencerna ilmu-ilmu yang lain. Akan tetapi, pembawaan mereka masih bersih dan murni, pemberani dan sanggup berkorban untuk hal-hal yang dipandang baik.
Masyarakat Arab Jahiliyah sebenarnya memiliki dua sifat, yaitu dari segi positif yang akan mendorong kemajuan bangsa Arab dikemudian hari dan dari segi negatif yang justru akan merusak serta merobek kebesaran bangsa ini. Gambaran tentang sifat negatif bangsa Arab ini ialah menanam bayi perempuan hidup-hidup karena dianggap nista dan beban perekonomian keluarga dan anak laki-laki yang memiliki sifat pengecut, meminum arak serta berjudi. Segi positif yang dimiliki bangsa Arab ialah menjaga harga diri serta kehormatan, kedermawanan mereka terhadap tamu, berani berkorban demi sesuatu yang dianggapnya benar, menjunjung prinsip persamaan dan demokratis.
Bangsa Arab sebenarnya memiliki karakter yang cerdas, sehingga yang semula memeluk agama watsani beranjak pada tingkat yang lebih tinggi karena adanya interaksi Yahudi dan Nasrani. Ditemukan dari kalangan mereka menyeru ajaran tauhid baru yang berkaitan dengan batasan tertentu dengan ajaran Nasrani. Kelompok ini menyeru agar meninggalkan penyembahan berhala serta perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji. Hal ini seperti firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 67 yang artinya: “Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi ia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik”.




DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Ibrahim Hasan. 2001. Sejarah Dan Kebudayaan Islam 1. Jakarta. Kalam Mulia.
Mufrod, Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta. Logos Wacana Ilmu.
Noor, Yusliani. 2014. Sejarah Timur Tengah (Asia Barat Daya). Yogyakarta. Ombak.