Sesaji yang Mendarah Daging di Masyakat Jawa
Sesaji merupakan warisan budaya dari
Hindu-Budha yang dilakukan masyarakat dengan bertujuan untuk memuja para ruh
halus, dewa, dan penunggu tempat ataupun
benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan ghaib. Pengaruh animisme dan
dinamisme telah melahirkan berbagai kekuatan mistik salah satunya takhayul.[1]
Sesaji dipersembahkan untuk ruh nenek moyang agar mendapatkan keselamatan yakni
kondisi dimana tidak ada gangguan yang menghalangi suatu pekerjaan.[2]
Sesaji itu berupa bunga-bunga yang diletakkan dalam satu tempat disertai
kemenyan dan makanan yang disukai oleh ruh nenek moyang. Sesajian itu
dipersembahkan dalam bentuk yang berbeda-beda, misalnya sesaji dalam pernikahan
akan berbeda dengan sesaji untuk kematian. Ada empat jenis sesaji yang dianggap
istimewa oleh masyarakat Jawa. Keempat sesaji itu ialah sesajian yang ditujukan
bagi Yang Kuasa (selamatan), sesajian sebagai sarana untuk menolak
pengaruh setan dan ruh-ruh jahat (penulakan), sesajian rutin kepada rasul,
para wali, jin, bidadari, binatang, dan tumbuh-tumbuhan (wadima),
sesajian berupa makanan untuk para wali dan malaikat untuk keselamatan ruh
orang meninggal, penyelenggara acara, keluarga, dan hartanya (sedekah).[3]
Masyarakat
Jawa menyebut sesaji sebagai selametan kerena masyarakat
mempersembahkannya guna untuk mendapatkan keselamatan dari ruh jahat.[4]
Masyarakat juga menganggapnya sebagai ungkapan syukur dan pengharapan kondisi
yang lebih baik. Misalnya, dalam acara selametan bersih desa yang dilakukan
setelah panen padi . Pertunjukan wayang dengan lakon Dewi Sri yang diadakan di
masyarakat setempat sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang telah
didapat. Hal ini juga merupakan suatu harapan terhadap hasil panen yang lebih
baik di masa yang akan datang. Acara ini juga dipersembahkan untuk penjaga
desa( sing mbau rekso). Bersih desa bertujuan untuk
mempertahankan reproduksi pertanian dan menjaga relasi dunia ruh lokal.[5]
Nenek
moyang orang Jawa sudah beranggapan bahwa semua benda yang berada
disekelilingnya itu bernyawa dan semua yang bergerak dianggap hidup serta
mempunyai kekuatan ghaib atau ruh yang berwatak baik ataupun jahat.[6]
Sehingga sesaji pun menjadi kebudayaan yang melekat, bahkan telah mendarah
daging pada generasi berikutnya. Sesaji ini adalah salah satu tindakan simbolis
dalam religi sebagai sisa peninggalan zaman mitos.[7]
Para sesepuh telah terbiasa menyajikan sesajian untuk para ruh, dewa serta
penunggu-penunggu tempat tertentu. Sesaji juga sebagai pelengkap dalam suatu
upacara-upacara ritual, seperti upacara kematian, pernikahan, kelahiran, penghormatan kepada alam dan sebagainya. Alam
dianggap pula sebagai sumber rasa aman karena sesuai dengan totalitas yang
terkoordinasikan, alam hayati yang memiliki kekuasaan sehingga dapat menentukan
keselamatan dan kehancuran.[8]
Jika
masyarakat tidak melakukan persembahan-persembahan seperti apa yang diajarkan
nenek moyang, hidup mereka akan diganggu oleh Dhanyang. Karena Dhanyang
merupakan asal kemajuan desa, maka bila dia marah hilanglah desa itu sebab
ia merupakan pelindung dari desa tersebut.[9]
Hal itu menjadikan masyarakat menghormati Dhanyang dengan cara
mempersembahkan sesajian yang bertujuan untuk menyenangkan Dhanyang. Dhanyang
dipercaya berdiam di pohon beringin atau pohon-pohon besar yang telah berumur
tua, di sumber mata air, makam tua dari tokoh atau pahlawan, tempat lain yang
dianggap keramat dan mengandung kekuatan ghaib, atau tempat berbahaya lainnya.[10]
Apakah
sesaji ini layak untuk dilestarikan? Lalu jika layak untuk dilestarikan, apa
alasannya? Mungkin kebudayaan ini dilestarikan hanya untuk menghormati nenek
moyang. Hal ini merupakan perbuatan yang sia-sia dan tidak ada manfaatnya,
serta merupakan perbuatan syirik (menyekutukan Allah) perbuatan syirik sendiri
adalah dosa yang tidak terampuni (QS. An-Nisa’:116). Mengapa perbuatan itu sia-sia?
Contohnya saja pemberian makanan yang disukai oleh Dhanyang, ruh, setan,
dan makhluk yang tidak kasat mata lainnya. Makhluk ghaib memiliki materi dan
sifat yang berbeda dengan manusia, dengan demikian materi yang dibutuhkan
seperti makanan akan berbeda pula. Namun perlu disadari bahwa logika pemikiran magic
berbeda secara diametral dengan logika sain.
Kriteria logika sains tidak dapat diterapkan pada logika agama.[11]
Kekuatan mistik sendiri tidak dapat dipelajari dengan logstik. Karena percaya
atau tidak, kekuatan itu timbul karena adanya suatu keyakinan.
[1]
Capt R.P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa,hlm 131.
[2]
Sindung Haryanto, Dunia Simbol Orang Jawa,hlm 69.
[3]
Ibid..,hlm 131-132..
[4]
Ibid..,hlm 132.
[5]
Ibid..,hlm 72.
[6]
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa,hlm 156.
[7]
Ibid..,hlm 158.
[8]
Ibid..,hlm 73.
[9]
Ibid..,hlm 120.
[10]
Ibid..,hlm 158-159.
[11]
Ibid..,hlm 81-82.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar