Sabtu, 31 Desember 2016

Sesaji Masyarakat Jawa



Sesaji yang Mendarah Daging di Masyakat Jawa
            Sesaji merupakan warisan budaya dari Hindu-Budha yang dilakukan masyarakat dengan bertujuan untuk memuja para ruh halus, dewa, dan penunggu tempat ataupun  benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan ghaib. Pengaruh animisme dan dinamisme telah melahirkan berbagai kekuatan mistik salah satunya takhayul.[1] Sesaji dipersembahkan untuk ruh nenek moyang agar mendapatkan keselamatan yakni kondisi dimana tidak ada gangguan yang menghalangi suatu pekerjaan.[2] Sesaji itu berupa bunga-bunga yang diletakkan dalam satu tempat disertai kemenyan dan makanan yang disukai oleh ruh nenek moyang. Sesajian itu dipersembahkan dalam bentuk yang berbeda-beda, misalnya sesaji dalam pernikahan akan berbeda dengan sesaji untuk kematian. Ada empat jenis sesaji yang dianggap istimewa oleh masyarakat Jawa. Keempat sesaji itu ialah sesajian yang ditujukan bagi Yang Kuasa (selamatan), sesajian sebagai sarana untuk menolak pengaruh setan dan ruh-ruh jahat (penulakan), sesajian rutin kepada rasul, para wali, jin, bidadari, binatang, dan tumbuh-tumbuhan (wadima), sesajian berupa makanan untuk para wali dan malaikat untuk keselamatan ruh orang meninggal, penyelenggara acara, keluarga, dan hartanya (sedekah).[3]
            Masyarakat Jawa menyebut sesaji sebagai selametan kerena masyarakat mempersembahkannya guna untuk mendapatkan keselamatan dari ruh jahat.[4] Masyarakat juga menganggapnya sebagai ungkapan syukur dan pengharapan kondisi yang lebih baik. Misalnya, dalam acara selametan bersih desa yang dilakukan setelah panen padi . Pertunjukan wayang dengan lakon Dewi Sri yang diadakan di masyarakat setempat sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang telah didapat. Hal ini juga merupakan suatu harapan terhadap hasil panen yang lebih baik di masa yang akan datang. Acara ini juga dipersembahkan untuk penjaga desa( sing mbau rekso). Bersih desa bertujuan untuk mempertahankan reproduksi pertanian dan menjaga relasi dunia ruh lokal.[5]
            Nenek moyang orang Jawa sudah beranggapan bahwa semua benda yang berada disekelilingnya itu bernyawa dan semua yang bergerak dianggap hidup serta mempunyai kekuatan ghaib atau ruh yang berwatak baik ataupun jahat.[6] Sehingga sesaji pun menjadi kebudayaan yang melekat, bahkan telah mendarah daging pada generasi berikutnya. Sesaji ini adalah salah satu tindakan simbolis dalam religi sebagai sisa peninggalan zaman mitos.[7] Para sesepuh telah terbiasa menyajikan sesajian untuk para ruh, dewa serta penunggu-penunggu tempat tertentu. Sesaji juga sebagai pelengkap dalam suatu upacara-upacara ritual, seperti upacara kematian, pernikahan, kelahiran,  penghormatan kepada alam dan sebagainya. Alam dianggap pula sebagai sumber rasa aman karena sesuai dengan totalitas yang terkoordinasikan, alam hayati yang memiliki kekuasaan sehingga dapat menentukan keselamatan dan kehancuran.[8]
            Jika masyarakat tidak melakukan persembahan-persembahan seperti apa yang diajarkan nenek moyang, hidup mereka akan diganggu oleh Dhanyang. Karena Dhanyang merupakan asal kemajuan desa, maka bila dia marah hilanglah desa itu sebab ia merupakan pelindung dari desa tersebut.[9] Hal itu menjadikan masyarakat menghormati Dhanyang dengan cara mempersembahkan sesajian yang bertujuan untuk menyenangkan Dhanyang. Dhanyang dipercaya berdiam di pohon beringin atau pohon-pohon besar yang telah berumur tua, di sumber mata air, makam tua dari tokoh atau pahlawan, tempat lain yang dianggap keramat dan mengandung kekuatan ghaib, atau tempat berbahaya lainnya.[10]
            Apakah sesaji ini layak untuk dilestarikan? Lalu jika layak untuk dilestarikan, apa alasannya? Mungkin kebudayaan ini dilestarikan hanya untuk menghormati nenek moyang. Hal ini merupakan perbuatan yang sia-sia dan tidak ada manfaatnya, serta merupakan perbuatan syirik (menyekutukan Allah) perbuatan syirik sendiri adalah dosa yang tidak terampuni (QS. An-Nisa’:116). Mengapa perbuatan itu sia-sia? Contohnya saja pemberian makanan yang disukai oleh Dhanyang, ruh, setan, dan makhluk yang tidak kasat mata lainnya. Makhluk ghaib memiliki materi dan sifat yang berbeda dengan manusia, dengan demikian materi yang dibutuhkan seperti makanan akan berbeda pula. Namun perlu disadari bahwa logika pemikiran magic berbeda secara diametral dengan logika sain.  Kriteria logika sains tidak dapat diterapkan pada logika agama.[11] Kekuatan mistik sendiri tidak dapat dipelajari dengan logstik. Karena percaya atau tidak, kekuatan itu timbul karena adanya suatu keyakinan.


[1] Capt R.P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa,hlm 131.
[2] Sindung Haryanto, Dunia Simbol Orang Jawa,hlm 69.
[3] Ibid..,hlm 131-132..
[4] Ibid..,hlm 132.
[5] Ibid..,hlm 72.
[6] Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa,hlm 156.
[7] Ibid..,hlm 158.
[8] Ibid..,hlm 73.
[9] Ibid..,hlm 120.
[10] Ibid..,hlm 158-159.
[11] Ibid..,hlm 81-82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar