Sabtu, 31 Desember 2016

Sesaji Masyarakat Jawa



Sesaji yang Mendarah Daging di Masyakat Jawa
            Sesaji merupakan warisan budaya dari Hindu-Budha yang dilakukan masyarakat dengan bertujuan untuk memuja para ruh halus, dewa, dan penunggu tempat ataupun  benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan ghaib. Pengaruh animisme dan dinamisme telah melahirkan berbagai kekuatan mistik salah satunya takhayul.[1] Sesaji dipersembahkan untuk ruh nenek moyang agar mendapatkan keselamatan yakni kondisi dimana tidak ada gangguan yang menghalangi suatu pekerjaan.[2] Sesaji itu berupa bunga-bunga yang diletakkan dalam satu tempat disertai kemenyan dan makanan yang disukai oleh ruh nenek moyang. Sesajian itu dipersembahkan dalam bentuk yang berbeda-beda, misalnya sesaji dalam pernikahan akan berbeda dengan sesaji untuk kematian. Ada empat jenis sesaji yang dianggap istimewa oleh masyarakat Jawa. Keempat sesaji itu ialah sesajian yang ditujukan bagi Yang Kuasa (selamatan), sesajian sebagai sarana untuk menolak pengaruh setan dan ruh-ruh jahat (penulakan), sesajian rutin kepada rasul, para wali, jin, bidadari, binatang, dan tumbuh-tumbuhan (wadima), sesajian berupa makanan untuk para wali dan malaikat untuk keselamatan ruh orang meninggal, penyelenggara acara, keluarga, dan hartanya (sedekah).[3]
            Masyarakat Jawa menyebut sesaji sebagai selametan kerena masyarakat mempersembahkannya guna untuk mendapatkan keselamatan dari ruh jahat.[4] Masyarakat juga menganggapnya sebagai ungkapan syukur dan pengharapan kondisi yang lebih baik. Misalnya, dalam acara selametan bersih desa yang dilakukan setelah panen padi . Pertunjukan wayang dengan lakon Dewi Sri yang diadakan di masyarakat setempat sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang telah didapat. Hal ini juga merupakan suatu harapan terhadap hasil panen yang lebih baik di masa yang akan datang. Acara ini juga dipersembahkan untuk penjaga desa( sing mbau rekso). Bersih desa bertujuan untuk mempertahankan reproduksi pertanian dan menjaga relasi dunia ruh lokal.[5]
            Nenek moyang orang Jawa sudah beranggapan bahwa semua benda yang berada disekelilingnya itu bernyawa dan semua yang bergerak dianggap hidup serta mempunyai kekuatan ghaib atau ruh yang berwatak baik ataupun jahat.[6] Sehingga sesaji pun menjadi kebudayaan yang melekat, bahkan telah mendarah daging pada generasi berikutnya. Sesaji ini adalah salah satu tindakan simbolis dalam religi sebagai sisa peninggalan zaman mitos.[7] Para sesepuh telah terbiasa menyajikan sesajian untuk para ruh, dewa serta penunggu-penunggu tempat tertentu. Sesaji juga sebagai pelengkap dalam suatu upacara-upacara ritual, seperti upacara kematian, pernikahan, kelahiran,  penghormatan kepada alam dan sebagainya. Alam dianggap pula sebagai sumber rasa aman karena sesuai dengan totalitas yang terkoordinasikan, alam hayati yang memiliki kekuasaan sehingga dapat menentukan keselamatan dan kehancuran.[8]
            Jika masyarakat tidak melakukan persembahan-persembahan seperti apa yang diajarkan nenek moyang, hidup mereka akan diganggu oleh Dhanyang. Karena Dhanyang merupakan asal kemajuan desa, maka bila dia marah hilanglah desa itu sebab ia merupakan pelindung dari desa tersebut.[9] Hal itu menjadikan masyarakat menghormati Dhanyang dengan cara mempersembahkan sesajian yang bertujuan untuk menyenangkan Dhanyang. Dhanyang dipercaya berdiam di pohon beringin atau pohon-pohon besar yang telah berumur tua, di sumber mata air, makam tua dari tokoh atau pahlawan, tempat lain yang dianggap keramat dan mengandung kekuatan ghaib, atau tempat berbahaya lainnya.[10]
            Apakah sesaji ini layak untuk dilestarikan? Lalu jika layak untuk dilestarikan, apa alasannya? Mungkin kebudayaan ini dilestarikan hanya untuk menghormati nenek moyang. Hal ini merupakan perbuatan yang sia-sia dan tidak ada manfaatnya, serta merupakan perbuatan syirik (menyekutukan Allah) perbuatan syirik sendiri adalah dosa yang tidak terampuni (QS. An-Nisa’:116). Mengapa perbuatan itu sia-sia? Contohnya saja pemberian makanan yang disukai oleh Dhanyang, ruh, setan, dan makhluk yang tidak kasat mata lainnya. Makhluk ghaib memiliki materi dan sifat yang berbeda dengan manusia, dengan demikian materi yang dibutuhkan seperti makanan akan berbeda pula. Namun perlu disadari bahwa logika pemikiran magic berbeda secara diametral dengan logika sain.  Kriteria logika sains tidak dapat diterapkan pada logika agama.[11] Kekuatan mistik sendiri tidak dapat dipelajari dengan logstik. Karena percaya atau tidak, kekuatan itu timbul karena adanya suatu keyakinan.


[1] Capt R.P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa,hlm 131.
[2] Sindung Haryanto, Dunia Simbol Orang Jawa,hlm 69.
[3] Ibid..,hlm 131-132..
[4] Ibid..,hlm 132.
[5] Ibid..,hlm 72.
[6] Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa,hlm 156.
[7] Ibid..,hlm 158.
[8] Ibid..,hlm 73.
[9] Ibid..,hlm 120.
[10] Ibid..,hlm 158-159.
[11] Ibid..,hlm 81-82.

Senin, 05 Desember 2016

AGAMA SHINTO


SEJARAH AGAMA SHINTO

Mata Kuliah Sejarah Agama-Agama

Dosen Pengampu : Dr. Hj. Siti Maryam, M.Ag
Oleh :

M. Firman Kaisa (NIM. 16120015)
Tri Kodariya Nisa (NIM.16120016)

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
2016


Bab I

Pendahuluan

1.1  Latar Belakang

Secara umum setiap manusia memeluk sebuah agama, karena agama adalah suatu bentuk adat kepercayaan bagi setiap orang yang memeluknya. Dalam kehidupannya, manusia sangatlah erat berhubungan dengan agama. Agama ada karena mempunyai peran untuk memberi kedamaian hati. Petunjuk, dan menuntun manusia dalam menjalani kehidupannya.
Sebagai contohnya agama yang akan kami bahas dalam makalah ini, yaitu Shinto. Shinto adalah sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat jepang pada umumnya. Shinto sebagai agama asli jepang mempunyai sifat yang unik dan bisa dibilang ruwet.  Dari segi proses terbentuknya, ajarannya, maupun bentuk-bentuk upacara keagamaannya.
Perkembangan budaya di Jepang juga sangatlah unik. Banyak kebudayaan yang masuk kedalam Jepang akan tetapi tidak menghilangkan budaya asli masyarakat Jepang itu sendiri. Budaya-budaya luar itu sendiri justru memperkaya budaya masyarakat Jepang. Di Jepang antara budaya asli dengan budaya yang berasal dari luar dapat dipadukan menjadi sebuah budaya atau tradisi baru yang hampir sama dengan tradisi lama. Perpaduan inilah yang pada perkembangannya disebut dengan Shinto.

1.2 Rumusan Masalah

a.       Bagaimana sejarah Shinto?
b.      Bagaimana konsep ketuhanan dan ajaran yang dianut dalam Shinto?
c.       Apakah ada sekte-sekte dalam ajaran Shinto?

1.3 Tujuan

a.       Untuk mengetahui sejarah Shinto.
b.      Untuk mengetahui bagaimana konsep ketuhanan yang dianut dalam Shinto, dan bagaimana ajaran-ajarannya.
c.       Untuk mengetahui adakah sekte-sekte dalam Shinto.

Bab II

Pembahasan

2.1 Sejarah Shinto

Secara bahasa, Shinto berasal dari kata “Shin” yang artinya “Dewa”, dan “To” yang artinya “Jalan”. Jadi Shinto diartikan sebagai “Jalan Dewa”. Selain dapat diartikan dewa, kata “Shin” juga diartikan sebagai “Roh”, baik itu roh orang yang telah meninggal maupun roh bumi dan langit. Kata “Shin” sendiri sama dengan arti kata “Yin” dalam ajaran Taoisme, yang berarti gelap, basah, negatif, dan sebagainya. Sedangkan kata  “To” sendiri dalam ajaran Taoisme berdekatan dengan kata “Tao”, yang artinya jalannya dewa atau jalannya bumi dan langit. Jika dilihat dari pemaparan tersebut di dalam ajaran-ajaran Shinto banyak dipengaruhi dengan ajaran-ajaran Taoisme.
Shinto sendiri adalah nama untuk menyebut kepercayaan dan tradisi-tradisi asli masyarakat Jepang. Istilah Shinto baru digunakan setelah masuknya agama lain ke Jepang sekitar abad ke keenam masehi. Istilah ini diberikan oleh para Biksu Buddha pada kepercayaan, ritual-ritual dan tradisi masyarakat Jepang pada saat itu. Agama-agama baru yang masuk ke Jepang cepat berbaur dan dapat diterima oleh masyarakat Jepang karena ajarannya sama dengan tradisi mereka. Seperti Konfusius yang masuk ke Jepang sekitar   abad keempat atau Buddha yang masuk sekitar abad keenam (538 atau 552), ajaran kedua agama tersebut sangatlah menekankan keselarasan manusia dengan alam.
Pada tahun 604 M pangeran Shotoku mengeluarkan undang-undang tujuh belas pasal yang berisi konsep-konsep etis dari ajaran Konfusius. Yang unik dari peristiwa ini adalah pada saat pengeluaran undang-undang ini Pangeran Shotoku sendiri adalah penganut Buddha. Oleh karena itu dalam perkembangannya setelah dikeluarkan undang-undang tersebut, pengaruh Konfusius dan Buddha tidak hanya bercampur dengan Shinto tapi juga merasuk ke dalam perilaku dan kesadaran moral masyarakat Jepang sehingga sulit untuk membedakan antara ajaran Konfusius, Budha, dan Shinto sendiri.
 Hubungan antara Buddha dan Shinto dirumuskan dalam sebuah teori perpaduan yang dikenal dengan istilah Honji Suijaku Setsu. Yaitu teori yang menempatkan Sang Buddha sebagai Honji  atau “yang pertama” dan dewa-dewa Shinto sebagai manifestasi atau penjelmaan dari Sang Buddha. Pemikiran ini berkembang pada masa keshogunan Kamakura (sekitar 1192-1333) dengan munculnya beberapa tokoh pemikir terkemuka Buddha di Jepang, seperti Honen (1133-1212), Shinran (1173-1262), Dogen (1200-1253), dan Nichiren (1222-1282).
Pada masa keshogunan Muromachi (1338-1583), muncul aliran Shinto yang mengajarkan perpaduan Buddha, Konfusius, dan Shinto yang menjadi basis utamanya. Aliran ini disebut dengan Yoshida Shinto. Perpaduan ketiganya dikiaskan layaknya sebuah pohon, Buddha sebagai bunga dan buah dari semua aturan (Dharma), Konfusius sebagai cabang dan rantingnya, dan Shinto sebagai akar dan batangnya. Konsep perpaduan ini sering disebut dengan istilah Shinbutsu Shugo.
Tetapi konsep seperti itu juga tidak dapat memberikan persatuan seutuhnya. Walaupun telah ada konsep tersebut, adanya persaingan antara pendeta Buddha dengan pendeta Shinto tetaplah ada. Sejarah mencatat pada tahun 1571 Kuil Buddha Enryaku-Ji yang terletak di gunung Hiei dibakar habis oleh Daimyo Owari, Oda Nobunaga. Dalam pembakaran tersebut  kurang lebih empat ribu orang tewas. Pada saat itu Oda mengeluarkan undang-undang pelarangan kepercayaan selain Shinto karena pada saat itu perkembangan Buddha sangatlah pesat, dan juga pada masa itu Kristen mulai masuk ke Jepang.
 Pada masa keshogunan Tokugawa (1603-1868) agama Buddha menjadi agama resmi negara. Pada masa ini juga sudah mulai  terlihat usaha-usaha menghidupkan kembali ajaran-ajaran Shinto. Gerakan pembaharu Shinto seperti Motori Norinaga (1730-1801) menerbitkan sebuah buku yang memuat hasil pemikirannya terhadap kitab Kojiki. Buku ini dinamakan Kojiki-den. Karya ini bukan hanya sebagai penerang Shinto, akan tetapi juga berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran keagamaan pada masa selanjutnya. Usaha Norinaga kemudian dilanjutkan oleh salah seorang pengikutnya yang bernama Hirata Atsutane (1776-1843). Atsutane tidak hanya melanjutkan usaha-usaha gurunya, akan tetapi juga mempraktekkannya serta menjadikannya sebagai dasar bagi kebangkitan Shinto. Atsutane juga menulis tentang sastra Jepang klasik dan tidak hanya itu, Atsutane juga mempelajari dan mengkritik Buddha, Konfusius, dan Kristen. Pada tahun 1811 Dia menerbitkan sebuah buku yang berjudul Kodo-taii, pokok-pokok ajaran kuno.
Di bawah Restorasi Meiji yang dimulai pada 1868, untuk memisahkan dan memurnikan Shinto, pemerintah memisahkan Shinto dari Buddha. Pemisahan ini di kenal istilah Shinbutsu Bunri. Akan tetapi usaha pemerintah kala itu mendapat kesulitan karena mendapat tuntutan dari agama-agama lain seperti Kristen atau Buddha. Pada tahun 1889 pemerintah mengeluarkan undang-undang tahun 1889 pasal 28 yang membebaskan warga negara bebas beragama, akan tetapi dengan ketentuan tidak membahayakan maupun mengganggu ketertiban, serta tidak mengganggu kewajiban mereka sebagai warga negara.
Walaupun pemerintah telah mengeluarkan undang-undang tentang kebebasan beragama, tetapi dalam pelaksanaannya masih terdapat perbedaan antara agama resmi negara, Shinto dengan agama-agama lainnya, seperti Buddha, Kristen maupun agama lainnya.
Sikap pemerintah baru benar-benar membebaskan warganya dalam beragama pada saat kekalahan Jepang dalam perang dunia kedua. Jepang di tuntut untuk memisahkan urusan agama dengan urusan pemerintahan. Pada 3 Nopember 1945 pemerintah Jepang mengeluarkan undang-undang yang membebaskan sepenuhnya warganya dalam beragama, dan negara tidak akan memberikan hak khusus pada organisasi keagamaan tertentu. Undang-undang baru itu juga menegaskan bahwa pengajaran agama di lembaga-lembaga pendidikan juga dilarang.
Undang-undang tersebut merupakan dasar dari kebebasan beragama bagi seluruh warga negara Jepang sampai saat ini dan juga sebagai pemisah antara agama dan pemerintahan. Kini, Shinto tidak lagi menjadi agama resmi negara yang dipaksakan. Hak-hak istimewa terhadap Shinto juga telah dihapuskan. Pada saat ini kedudukan Shinto sama dengan agama lain yang ada di Jepang.

2.2  Konsep Ketuhanan dan Ajaran-Ajaran Dalam Shinto

Shinto pada awalnya adalah kepercayaan yang memuja kekuatan-kekuatan alam. Bangsa Jepang kemudian mempersonifikasikan kekuatan-kekuatan tersebut untuk memudahkan mereka. Semua benda di alam ini baik yang hidup maupun yang mati dianggap memiliki kekuatan, dan mereka percaya bahwa kekuatan-kekuatan itu mempengaruhi kehidupan mereka. Kekuatan-kekuatan tadi mereka puja dan mereka memberi sebutan Kami.
Kami diartikan sebagai kekuatan yang tinggi. Di dalam hal ini Kami dapat di artikan sebagai Dewa atau Tuhan. Dewa-dewa dalam Shinto jumlahnya tak terbatas, bahkan bisa bertambah. Hal ini diungapkan dalam istilah Yaoyazoru no Kami, yang mempunyai arti delapan miliun dewa. Menurut Shinto, kepercayaan terhadap berbilangnya dewa justru dianggap positif. Sebuah angka banyak berarti menunjukkan bahwa dewa tersebut memiliki sifat agung, sempurna, dan suci. Penyembahan Kami biasanya dilakukan di Jinja (kuil) atau juga bisa di rumah-rumah masyarakat.
Penjelasan tentang Kami  jika menurut seorang tokoh pembharu Shinto, Norinaga, menjelaskan bahwa konsepsi kedewaan di dalam Shinto terkandung tiga hal, yaitu:
1)      Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi gejala-gejala alam dianggap dapat mendengar, melihat, dan sebagainya sehingga harus di puja langsung.
2)      Dewa-dewa tersebut dapat pula berwujud manusia
3)      Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit yang berdiam di tempat-tempat suci dan mempengaruhi kehidupan manusia.
Di dalam kepercayaan Shinto dewa dapat dibedakan menjadi dua macam, Dewa Langit, Amatsu no Kami, dan Dewa Bumi, Kunitsu no Kami. Dewa-dewa langit tinggal di Takama no Hara, dan Dewa-dewa Bumi tinggal di bumi.

2.2.1  Dewa-Dewa Shinto

Jumlah dewa dalam Shinto jumlahnya banyak dan beraneka ragam. Diantara sekian banyaknya dewa-dewa tersebut, Dewa Matahari yang mempunyai kedudukan tinggi diantara dewa-dewa lainnya. Para penganut Shinto menjuluki Dewa Matahari dengan nama Amaterasu- Omi- Kami. Benda yang menjadi simbol Dewa Amaterasu adalah cermin yang disebut Yata no Kagami. Cermin tersebut di simpan di Kuil Ise, di prefektur Mie.
Untuk memudahkan dalam pemujaan masyarakat Jepang menggolongkan dewa-dewa seperti,
a.       Dewa Pertanian
       Dikalangan masyarakat Jepang kuno, kesuburan tanah sangatlah diperhatikan. oleh karena itu kedudukannya sangatlah penting setelah Dewa Matahari.  Dewi  Pertanian yang sangat terkenal di Jepang adalah Dewi Inari. Hampir setiap rumah memiliki tempat suci untuk memujanya.
b.      Dewa Tanah.
       Dewa Tanah dianggap memiliki kekuasaan atas tanah, baik berupa tanah pertanian maupun yang lainnya. Dewa Tanah biasanya dipuja secara langsung.  Dewa yang terkenal adalah Oo Kuni Nushi, Dewa ini adalah dewa obat-obatan, kesuburan, dan pertanian.
c.       Dewa Gunung
       Hampir di seluruh gunung terdapat Yama no Kami  (Dewa Gunung). Dewa Gunung biasanya dipuja oleh para pemburu, pencari kayu, dan juga para penduduk yang tinggal di lereng gunung. Dewa gunung yang terkenal adalah Sengen Sama. Sengen Sama adalah dewi berparas cantik yang tinggal di Gunung Fuji. Masyarakat Jepang percaya bahwa Sengen Sama yang membuat bunga-bunga bermekaran.
d.      Dewa Laut
       Dewa laut atau biasa disebut Umi no Kami adalah dewa yang berkuasa atas laut. Dewa laut biasa dipuja oleh para nelayan untuk memperoleh keselamatan jika berlayar dan hasil tangkapaan yang banyak. Salah satu dewa laut  adalah Ryuujin. Ryuujin adalah dewa laut yang mengendalikan arus air pasang.
e.       Dewa Air
       Dewa air biasanya dipuja oleh masyarakat Jepang  ditempat-tempat seperti sungai-sungai, mata air, dan danau-danau. Dewa air biasa disebut Suijin dan biasa dilambangkan sebagai ular atau naga.
f.       Dewa Manusia
       Telah diterangkan diatas bahwa dewa di dalam Shinto tidak terbatas jumlahnya. Di dalam Shinto jiwa manusia  juga bisa menjadi kami. Sebagai contoh adalah Sugawara Michizane yang dipuja sebagai Tenjin (Dewa Ilmu pengetahuan).
Selain dewa-dewa diatas masih banyak lagi dewa-dewa dalam kepercayaan masyarakat Jepang, seperti Dewa Guntur (Raiijin), Dewa Bulan (Tsukuyomi no Mikoto), Dewa perang dan pelindung Jepang (Hachiman), dan Dewa Angin (Fuujin).

2.2.2 Kitab Ajaran Shinto

Shinto sebagai sebuah kepercayaan juga mempunyai pedoman bagi para pengikutnya. Pedoman tersebut berupa kitab. Kitab suci yang tertua dalam Shinto ada dua buah kitab. Kitab ini disusun sepuluh abad sepeninggal  Jimmu Tenno (660 SM) kaisar Jepang yang pertama. Masa yang lebih belakangan di susun lagi dua kitab. Keempat kitab itu adalah sebagai berikut:
a.       Kojiki (catatan peristiwa purbakala), disusun pada 721 M, sesudah kekaisaran Jepang berkedudukan di Nara, ibukota Nara dibangun pada 710 M mengikuti model ibukota Changan di Tiongkok. Kitab ini menguraikan tentang alam khayangan tempat hidup para dewa dan dewi sampai kepada Amaterasu omi Kami (dewi Matahari) dan Tsukiyomi (dewa Bulan) diangkat menguasai langit dan puteranya Jimmu Tenno (660 SM) diangkat untuk menguasai “tanah yang indah dan subur” (Jepang) di bumi, lalu disusuli dengan silsilah turunan kaisar Jepang beserta riwayat hidup satu persatu. Selanjutnya upacara keagamaan yang dilakukan dengan pemujaan terhadap kaisar beserta para dewa dan dewi.
Pendahuluan Kojiki, penulisnya menyatakan bahwa dia adalah bangsawan tingkat lima di istana, yang menerima perintah kaisar untuk menyusun kisah kaisar beserta riwayat hidupnya.  Dia menuliskan berdasarkan kisah turun temurun yang dihafalkan dan dinyanyikan Reciter, yakni pihak penyanyi-bercerita.
b.       Nihonji (riwayat Jepang), disusun pada 720 M oleh penulis yang sama dengan bantuan pangeran istana. Kitab ini bersifat komentar panjang lebar atas kitab yang pertama.
c.        Yengishiki yang bermakna: berbagai lembaga pada masa Yengi. Kitab ini disusun pada abad ke-10 M terdiri dari lima puluh bab. Sepuluh bab yang pertama berisikan ulasan kisah-kisah purbakala yang bersifat kultus, disusuli dengan peristiwa berikutnya sampai abad ke-10 M. Inti dari kitab ini ialah mencatat 25 buah Norito, yakni doa-doa pujaan yang sangat panjang pada berbagai upacara keagamaan.
d.      Manyoshiu, yang bermakna: himpunan sepuluh ribu daun. Berisikan bunga-rampai, terdiri atas 4496 buah sajak, disusun antara abad ke-5 dengan abad ke-8 M.

2.3  Sekte-Sekte Dalam Shinto

Pada 31 Desember 1970 terdapat  145 organisasi Shinto yang tercatat sebagai lembaga resmi pada Kementrian Pendidikan. Organisasi-organisasi tersebut dibedakan menjadi tiga, yaitu Jinja Shinto, Kyoha Shinto, dan Shin Kyoha Shinto.
a.    Jinja Shinto
       Sebagai organisasi keagamaan,  Jinja Shinto adalah produk modern, dan belum ada sebelum 1868. Tempat-tempat suci Shinto diatur dalam sistem tertentu, dab dimasukkan ke dalam suatu gabungan tempat-tempat suci yang disebut Jinja Shinto.
       Jumlah keseluruhan tempat suci nasional Shinto pada tahun 1945 ada 218 dan ada 1.100 tempat suci lokal. Semuanya memperoleh bantuan dari pemerintah. Akan tetapi semenjak di keluarkannya Pedoman Shinto, pada tahun 1945 semua tempat suci yang berhubungan dengan pemerintah di putus hubungannya. Semenjak itu tempat-tempat suci tersebut tercerai-berai. Pada 1946 dibentuklah sebuah organisasi bernama Jinja Honcho (Persekutuan Tempat Suci Shinto). Tercatat pada 1968 terdapat 80.000 tempat suci yang bernaung dibawah Jinja Honcho.

b.      Kyoha Shinto
       Menurut bahasa, Kyoha Shinto berarti sekte Shinto. Sekte ini bermunculan pada tahun-tahun terakhir masa Keshogunan Tokugawa (1603-1868) dan berkembang selama masa Kekaisaran Meiji (1868-1912). Sekte-sekte ini biasanya sering disebut dengan aliran baru, meskipun bukan berarti benih-benih ajarannya sebelumnya tidak pernah ada.
       Dewa atau Kami yang dipuja oleh sekte-sekte yang tergabung dalam Kyoha Shinto pada umumnya sama dengan ajaran Shinto tradisional.
       Sekte-sekte yang tergabung dalam Kyoha Shinto jika menurut Kawawata Yuiken, dibagi menjadi tiga, yaitu:
1)    Sekte-sekte tradisional, yakni sekte Shinto Taikyo, Shinto Shuseiha, Izumo Oyashirokyo, Shinto Taisekyo, Shinsukyo, dan sekte Shinrikyo.
2)    Sekte-sekte pemuja gunung, yaitu sekte Onitakekyo, sekte Fusokyo, dan sekte Jikkokyo.
3)    Sekte-sekte yang didasarkan wahyu, seperti sekte Kurozumikyo, sekte Konkokyo, sekte Misogikyo, dan sekte Tenrikyo.
       Selanjutnya jika menurut Komite Shinto, pembagian sekte dalam Kyoha Shinto dibagi menjadi lima, yaitu:
1)      Sekte-sekte Shinto asli, sekte ini terdiri atas tiga sekte, yaitu sekte Shinto Taikyo, sekte Shinrikyo, dan sekte Shinto Taishakyo.
2)      Sekte Konfusianis, sekte ini banyak terpengaruh ajaran Konfusius, seperti sekte Shinto Shuseiha dan sekte Shinto Taisekyo.
3)      Sekte pemuja gunung, yakni sekte Jikkokyo, sekte Fusokyo, dan sekta Onitakekyo.
4)      Sekte penyucian, sekte ini menekankan terhadap upacara-upacara penyucian. Sekte ini terdiri dari sekte Shinshukyo dan sekte Misogikyo.
5)      Sekte kalangan petani, yakni sekte Kurozumiko, sekte Konkokyo, dan sekte Tenrikyo.

c.       Shin Kyoha Shinto
       Pada pertengahan abad ke-19 banyak bermunculan bentuk-bentuk kepercayaan yang sebelumnya kurang mendapat perhatian. Sesudah berakhirnya Perang Dunia ke-2, pemerintah Jepang mengambil sikap netral terhadap semua agama. Hal inilah yang kemudian dijadikan kesempatan oleh sekte-sekte Shinto, yang sebelumnya terpaksa bergabung dengan sekte Shinto yang diakui oleh negara, untuk memisahkan diri. Kelompok-kelompok inilah yang kemudian disebut dengan Shin Kyoha Shinto.
       Jumlah sebenarnya sekte-sekte baru ini tidak diketahui secara pasti. Semua sekte-sekte baru tersebut dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu:
1)      Sekte Monoteisme, sekte mempercayai bahwa hanya ada satu dewa yang dianggap sebagai sumner segala wujud dan penciptaan semua yang ada di alam semesta ini.
2)      Sekte Honoteisme, sekte ini disamping mempercayai adanya banyak dewa-dewa, juga menyatakan bahwa Dewi Matahari adalah sumber dari segala gejala alam.
3)      Sekte Politeisme, sekte ini memiliki kepercayaan seperti halnya Shinto pada umumnya, yaitu percaya akan banyaknya dewa-dewa yang di puja.
4)      Sekte Messianisme, menurut sekte ini para dewa membimbing dan memberi petunjuk manusia melalui wahyu yang diberikan kepada pendirinya yang bertindak sebagai perantara antara manusia dengan Dewi matahari.
5)      Sekte yang terpengaruh Cina, ajaran-ajaran didalam sekte ini banyak yang terpengaruh dengan ajaran-ajaran dari Cina.

Bab III

Penutup


3.1  Kesimpulan

Pada awalnya Shinto bukanlah sebuah kepercayaan yang disadari langsung. Pada mulanya ajaran-ajaran Shinto tidaklah tersusun secara rapi. Pada perkembangannya, kepercayaan ini diberi nama Shinto oleh para biksu-biksu Buddha yang menyebarkan agama Buddha di Jepang. Nama Shinto yang berarti Jalan Dewa, diberikan pada kepercayaan masyarakat Jepang pada zaman dulu karena mereka melakukan pemujaan-pemujaan pada semua benda yang mereka yakini mempunyai kekuatan tetapi tidak memiliki ajaran-ajaran yang jelas. Karena itulah para Biksu-biksu Buddha memberi nama kepercayaan masyarakat tersebut dengan nama Shinto atau Jalan Dewa.
Pada intinya, Shinto mengajarkan kepercayaan pada banyak kekuatan yang disebut dengan Kami. Pemujaan terhadap Kami dilakukan melalui berbagai macam bentuk upacara dan perayaan keagamaan yang erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat Jepang. Jumlah Kami dalam Shinto jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini karena Kami adalah perwujudan kekuatan yang istimewa, menimbulkan rasa takut, maupun memiliki kewibawaan. Oleh karena itu semua benda di dunia dapat menjadi Kami.
Diantara Kami yang sangat banyak, Dewi Matahari mendapat kedudukan yang terhormat, setelah itu Dewi Kesuburan dan Makanan.
Ada beberapa kitab yang di jadikan pedoman para pengikut Shinto, antara lain Kojiki dan Nihongi. Kedua kitab tersebuta adalah kitab-kitab tertua dalam ajaran Shinto. Kitab tersebut banyak menceritakan asal-usul Jepang dan dewa-dewa yang ada dalam kepercayaan Shinto.
Seperti halnya agama-agama lainnya, di dalam Shinto juga terdapat beberapa sekte-sekte. Sekte ini ada karena adanya perbedaan baik dari segi konsep ketuhanan, sistem peribadatan maupun dalam merayakan perayaan-perayaan atau yang biasa disebut Matsuri.


Daftar Pustaka


Djam'annuri, Syafaatun Almirzahnah, dan Ustadi Hamzah. Agama Jepang. Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Mansur, Sufa'at. Agama-Agama Besar Masa Kini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Sou'yb, Joesoef. Agama-Agama Besar Di Dunia. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983.