SEJARAH AGAMA
SHINTO
Mata Kuliah
Sejarah Agama-Agama
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Siti Maryam, M.Ag
Oleh :
M. Firman Kaisa (NIM. 16120015)
Tri Kodariya Nisa (NIM.16120016)
JURUSAN SEJARAH
DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
2016
Secara umum setiap manusia memeluk sebuah agama, karena agama
adalah suatu bentuk adat kepercayaan bagi setiap orang yang memeluknya. Dalam
kehidupannya, manusia sangatlah erat berhubungan dengan agama. Agama ada karena
mempunyai peran untuk memberi kedamaian hati. Petunjuk, dan menuntun manusia dalam menjalani kehidupannya.
Sebagai contohnya agama yang akan kami bahas dalam makalah ini,
yaitu Shinto. Shinto adalah sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat jepang pada umumnya. Shinto
sebagai agama asli jepang mempunyai sifat yang unik dan bisa dibilang
ruwet. Dari segi proses terbentuknya,
ajarannya, maupun bentuk-bentuk upacara keagamaannya.
Perkembangan budaya di Jepang juga sangatlah unik. Banyak
kebudayaan yang masuk kedalam Jepang akan tetapi tidak menghilangkan budaya
asli masyarakat Jepang itu sendiri. Budaya-budaya luar itu sendiri justru
memperkaya budaya masyarakat Jepang. Di Jepang antara budaya asli dengan budaya
yang berasal dari luar dapat dipadukan menjadi sebuah budaya atau tradisi baru
yang hampir sama dengan tradisi lama. Perpaduan inilah yang pada
perkembangannya disebut dengan Shinto.
a.
Bagaimana sejarah Shinto?
b.
Bagaimana konsep ketuhanan dan ajaran yang dianut dalam
Shinto?
c.
Apakah ada sekte-sekte dalam ajaran Shinto?
a.
Untuk mengetahui sejarah Shinto.
b.
Untuk mengetahui bagaimana konsep ketuhanan yang dianut
dalam Shinto, dan bagaimana ajaran-ajarannya.
c.
Untuk mengetahui adakah sekte-sekte dalam Shinto.
Secara bahasa, Shinto berasal dari kata “Shin”
yang artinya “Dewa”, dan “To” yang artinya “Jalan”. Jadi Shinto
diartikan sebagai “Jalan Dewa”. Selain dapat diartikan dewa, kata “Shin”
juga diartikan sebagai “Roh”, baik itu roh orang yang telah meninggal maupun
roh bumi dan langit. Kata “Shin” sendiri sama dengan arti kata “Yin” dalam
ajaran Taoisme, yang berarti gelap, basah, negatif, dan sebagainya. Sedangkan
kata “To” sendiri dalam ajaran Taoisme
berdekatan dengan kata “Tao”, yang artinya jalannya dewa atau jalannya bumi dan
langit. Jika dilihat dari pemaparan tersebut di dalam ajaran-ajaran Shinto
banyak dipengaruhi dengan ajaran-ajaran Taoisme.
Shinto sendiri adalah nama untuk menyebut kepercayaan dan
tradisi-tradisi asli masyarakat Jepang. Istilah Shinto baru digunakan setelah
masuknya agama lain ke Jepang sekitar abad ke keenam masehi. Istilah ini
diberikan oleh para Biksu Buddha pada kepercayaan, ritual-ritual dan tradisi
masyarakat Jepang pada saat itu. Agama-agama baru yang masuk ke Jepang cepat
berbaur dan dapat diterima oleh masyarakat Jepang karena ajarannya sama dengan
tradisi mereka. Seperti Konfusius yang masuk ke Jepang sekitar abad keempat atau Buddha yang masuk sekitar
abad keenam (538 atau 552), ajaran kedua agama tersebut sangatlah menekankan
keselarasan manusia dengan alam.
Pada tahun 604 M pangeran Shotoku mengeluarkan
undang-undang tujuh belas pasal yang berisi konsep-konsep etis dari ajaran
Konfusius. Yang unik dari peristiwa ini adalah pada saat pengeluaran
undang-undang ini Pangeran Shotoku sendiri adalah penganut Buddha. Oleh karena
itu dalam perkembangannya setelah dikeluarkan undang-undang tersebut, pengaruh Konfusius
dan Buddha tidak hanya bercampur dengan Shinto tapi juga merasuk ke dalam
perilaku dan kesadaran moral masyarakat Jepang sehingga sulit untuk membedakan
antara ajaran Konfusius, Budha, dan Shinto sendiri.
Hubungan antara
Buddha dan Shinto dirumuskan dalam sebuah teori perpaduan yang dikenal dengan
istilah Honji Suijaku Setsu. Yaitu teori yang menempatkan Sang Buddha
sebagai Honji atau “yang pertama”
dan dewa-dewa Shinto sebagai manifestasi atau penjelmaan dari Sang Buddha.
Pemikiran ini berkembang pada masa keshogunan Kamakura (sekitar 1192-1333)
dengan munculnya beberapa tokoh pemikir terkemuka Buddha di Jepang, seperti
Honen (1133-1212), Shinran (1173-1262), Dogen (1200-1253), dan Nichiren
(1222-1282).
Pada masa keshogunan Muromachi (1338-1583), muncul aliran
Shinto yang mengajarkan perpaduan Buddha, Konfusius, dan Shinto yang menjadi
basis utamanya. Aliran ini disebut dengan Yoshida Shinto. Perpaduan
ketiganya dikiaskan layaknya sebuah pohon, Buddha sebagai bunga dan buah dari
semua aturan (Dharma), Konfusius sebagai cabang dan rantingnya, dan
Shinto sebagai akar dan batangnya. Konsep perpaduan ini sering disebut dengan
istilah Shinbutsu Shugo.
Tetapi konsep seperti itu juga tidak dapat memberikan
persatuan seutuhnya. Walaupun telah ada konsep tersebut, adanya persaingan
antara pendeta Buddha dengan pendeta Shinto tetaplah ada. Sejarah mencatat pada
tahun 1571 Kuil Buddha Enryaku-Ji yang terletak di gunung Hiei dibakar
habis oleh Daimyo Owari, Oda Nobunaga. Dalam pembakaran tersebut kurang lebih empat ribu orang tewas. Pada saat
itu Oda mengeluarkan undang-undang pelarangan kepercayaan selain Shinto karena
pada saat itu perkembangan Buddha sangatlah pesat, dan juga pada masa itu
Kristen mulai masuk ke Jepang.
Pada masa
keshogunan Tokugawa (1603-1868) agama Buddha menjadi agama resmi negara. Pada
masa ini juga sudah mulai terlihat
usaha-usaha menghidupkan kembali ajaran-ajaran Shinto. Gerakan pembaharu Shinto
seperti Motori Norinaga (1730-1801) menerbitkan sebuah buku yang memuat hasil
pemikirannya terhadap kitab Kojiki. Buku ini dinamakan Kojiki-den.
Karya ini bukan hanya sebagai penerang Shinto, akan tetapi juga berpengaruh
terhadap pemikiran-pemikiran keagamaan pada masa selanjutnya. Usaha Norinaga
kemudian dilanjutkan oleh salah seorang pengikutnya yang bernama Hirata
Atsutane (1776-1843). Atsutane tidak hanya melanjutkan usaha-usaha gurunya,
akan tetapi juga mempraktekkannya serta menjadikannya sebagai dasar bagi
kebangkitan Shinto. Atsutane juga menulis tentang sastra Jepang klasik dan
tidak hanya itu, Atsutane juga mempelajari dan mengkritik Buddha, Konfusius,
dan Kristen. Pada tahun 1811 Dia menerbitkan sebuah buku yang berjudul Kodo-taii,
pokok-pokok ajaran kuno.
Di bawah Restorasi Meiji yang dimulai pada 1868, untuk
memisahkan dan memurnikan Shinto, pemerintah memisahkan Shinto dari Buddha.
Pemisahan ini di kenal istilah Shinbutsu Bunri. Akan tetapi usaha
pemerintah kala itu mendapat kesulitan karena mendapat tuntutan dari
agama-agama lain seperti Kristen atau Buddha. Pada tahun 1889 pemerintah
mengeluarkan undang-undang tahun 1889 pasal 28 yang membebaskan warga negara
bebas beragama, akan tetapi dengan ketentuan tidak membahayakan maupun
mengganggu ketertiban, serta tidak mengganggu kewajiban mereka sebagai warga
negara.
Walaupun pemerintah telah mengeluarkan undang-undang
tentang kebebasan beragama, tetapi dalam pelaksanaannya masih terdapat perbedaan
antara agama resmi negara, Shinto dengan agama-agama lainnya, seperti Buddha,
Kristen maupun agama lainnya.
Sikap pemerintah baru benar-benar membebaskan warganya
dalam beragama pada saat kekalahan Jepang dalam perang dunia kedua. Jepang di
tuntut untuk memisahkan urusan agama dengan urusan pemerintahan. Pada 3
Nopember 1945 pemerintah Jepang mengeluarkan undang-undang yang membebaskan
sepenuhnya warganya dalam beragama, dan negara tidak akan memberikan hak khusus
pada organisasi keagamaan tertentu. Undang-undang baru itu juga menegaskan
bahwa pengajaran agama di lembaga-lembaga pendidikan juga dilarang.
Undang-undang tersebut merupakan dasar dari kebebasan
beragama bagi seluruh warga negara Jepang sampai saat ini dan juga sebagai
pemisah antara agama dan pemerintahan. Kini, Shinto tidak lagi menjadi agama
resmi negara yang dipaksakan. Hak-hak istimewa terhadap Shinto juga telah
dihapuskan. Pada saat ini kedudukan Shinto sama dengan agama lain yang ada di
Jepang.
Shinto pada awalnya adalah kepercayaan yang memuja kekuatan-kekuatan alam.
Bangsa Jepang kemudian mempersonifikasikan kekuatan-kekuatan tersebut untuk
memudahkan mereka. Semua benda di alam ini baik yang hidup maupun yang mati dianggap
memiliki kekuatan, dan mereka percaya bahwa kekuatan-kekuatan itu mempengaruhi
kehidupan mereka. Kekuatan-kekuatan tadi mereka puja dan mereka memberi sebutan
Kami.
Kami diartikan sebagai kekuatan yang tinggi. Di dalam hal ini Kami dapat
di artikan sebagai Dewa atau Tuhan. Dewa-dewa dalam Shinto jumlahnya tak
terbatas, bahkan bisa bertambah. Hal ini diungapkan dalam istilah Yaoyazoru
no Kami, yang mempunyai arti delapan miliun dewa. Menurut Shinto,
kepercayaan terhadap berbilangnya dewa justru dianggap positif. Sebuah angka
banyak berarti menunjukkan bahwa dewa tersebut memiliki sifat agung, sempurna,
dan suci. Penyembahan Kami biasanya dilakukan di Jinja (kuil)
atau juga bisa di rumah-rumah masyarakat.
Penjelasan tentang Kami jika menurut seorang tokoh pembharu Shinto,
Norinaga, menjelaskan bahwa konsepsi kedewaan di dalam Shinto terkandung tiga
hal, yaitu:
1)
Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi
gejala-gejala alam dianggap dapat mendengar, melihat, dan sebagainya sehingga
harus di puja langsung.
2)
Dewa-dewa tersebut dapat pula berwujud manusia
3)
Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit yang berdiam
di tempat-tempat suci dan mempengaruhi kehidupan manusia.
Di dalam kepercayaan Shinto dewa dapat dibedakan menjadi
dua macam, Dewa Langit, Amatsu no Kami, dan Dewa Bumi, Kunitsu no
Kami. Dewa-dewa langit tinggal di Takama no Hara, dan Dewa-dewa Bumi
tinggal di bumi.
2.2.1 Dewa-Dewa Shinto
Jumlah dewa dalam Shinto jumlahnya banyak dan beraneka
ragam. Diantara sekian banyaknya dewa-dewa tersebut, Dewa Matahari yang
mempunyai kedudukan tinggi diantara dewa-dewa lainnya. Para penganut Shinto
menjuluki Dewa Matahari dengan nama Amaterasu- Omi- Kami. Benda yang menjadi
simbol Dewa Amaterasu adalah cermin yang disebut Yata no Kagami. Cermin
tersebut di simpan di Kuil Ise, di prefektur Mie.
Untuk memudahkan dalam pemujaan masyarakat Jepang
menggolongkan dewa-dewa seperti,
a.
Dewa Pertanian
Dikalangan masyarakat Jepang kuno,
kesuburan tanah sangatlah diperhatikan. oleh karena itu kedudukannya sangatlah
penting setelah Dewa Matahari. Dewi Pertanian yang sangat terkenal di Jepang
adalah Dewi Inari. Hampir setiap rumah memiliki tempat suci untuk memujanya.
b. Dewa Tanah.
Dewa Tanah dianggap memiliki kekuasaan
atas tanah, baik berupa tanah pertanian maupun yang lainnya. Dewa Tanah
biasanya dipuja secara langsung. Dewa
yang terkenal adalah Oo Kuni Nushi, Dewa ini adalah dewa obat-obatan,
kesuburan, dan pertanian.
c. Dewa Gunung
Hampir di seluruh gunung terdapat Yama
no Kami (Dewa Gunung). Dewa Gunung
biasanya dipuja oleh para pemburu, pencari kayu, dan juga para penduduk yang
tinggal di lereng gunung. Dewa gunung yang terkenal adalah Sengen Sama. Sengen
Sama adalah dewi berparas cantik yang tinggal di Gunung Fuji. Masyarakat
Jepang percaya bahwa Sengen Sama yang membuat bunga-bunga bermekaran.
d. Dewa Laut
Dewa laut atau biasa disebut Umi no
Kami adalah dewa yang berkuasa atas laut. Dewa laut biasa dipuja oleh para
nelayan untuk memperoleh keselamatan jika berlayar dan hasil tangkapaan yang
banyak. Salah satu dewa laut adalah Ryuujin.
Ryuujin adalah dewa laut yang mengendalikan arus air pasang.
e. Dewa Air
Dewa air biasanya dipuja oleh masyarakat
Jepang ditempat-tempat seperti
sungai-sungai, mata air, dan danau-danau. Dewa air biasa disebut Suijin dan
biasa dilambangkan sebagai ular atau naga.
f. Dewa Manusia
Telah
diterangkan diatas bahwa dewa di dalam Shinto tidak terbatas jumlahnya. Di
dalam Shinto jiwa manusia juga bisa
menjadi kami. Sebagai contoh adalah Sugawara Michizane yang dipuja
sebagai Tenjin (Dewa Ilmu pengetahuan).
Selain dewa-dewa diatas masih banyak lagi dewa-dewa dalam
kepercayaan masyarakat Jepang, seperti Dewa Guntur (Raiijin), Dewa Bulan
(Tsukuyomi no Mikoto), Dewa perang dan pelindung Jepang (Hachiman),
dan Dewa Angin (Fuujin).
Shinto sebagai sebuah kepercayaan juga mempunyai pedoman
bagi para pengikutnya. Pedoman tersebut berupa kitab. Kitab suci yang tertua dalam Shinto ada dua
buah kitab. Kitab ini disusun sepuluh abad sepeninggal Jimmu Tenno (660 SM) kaisar Jepang yang
pertama. Masa yang lebih belakangan di susun lagi dua kitab. Keempat kitab itu
adalah sebagai berikut:
a.
Kojiki (catatan
peristiwa purbakala), disusun pada 721 M, sesudah kekaisaran Jepang
berkedudukan di Nara, ibukota Nara dibangun pada 710 M mengikuti model ibukota
Changan di Tiongkok. Kitab ini menguraikan tentang alam khayangan tempat hidup
para dewa dan dewi sampai kepada Amaterasu omi Kami (dewi Matahari) dan
Tsukiyomi (dewa Bulan) diangkat menguasai langit dan puteranya Jimmu Tenno (660
SM) diangkat untuk menguasai “tanah yang indah dan subur” (Jepang) di bumi,
lalu disusuli dengan silsilah turunan kaisar Jepang beserta riwayat hidup satu
persatu. Selanjutnya upacara keagamaan yang dilakukan dengan pemujaan terhadap
kaisar beserta para dewa dan dewi.
Pendahuluan Kojiki, penulisnya menyatakan bahwa dia adalah
bangsawan tingkat lima di istana, yang menerima perintah kaisar untuk menyusun
kisah kaisar beserta riwayat hidupnya.
Dia menuliskan berdasarkan kisah turun temurun yang dihafalkan dan
dinyanyikan Reciter, yakni pihak penyanyi-bercerita.
b.
Nihonji (riwayat
Jepang), disusun pada 720 M oleh penulis yang sama dengan bantuan pangeran
istana. Kitab ini bersifat komentar panjang lebar atas kitab yang pertama.
c.
Yengishiki yang
bermakna: berbagai lembaga pada masa Yengi. Kitab ini disusun pada abad
ke-10 M terdiri dari lima puluh bab. Sepuluh bab yang pertama berisikan ulasan
kisah-kisah purbakala yang bersifat kultus, disusuli dengan peristiwa
berikutnya sampai abad ke-10 M. Inti dari kitab ini ialah mencatat 25 buah
Norito, yakni doa-doa pujaan yang sangat panjang pada berbagai upacara
keagamaan.
d.
Manyoshiu, yang
bermakna: himpunan sepuluh ribu daun. Berisikan bunga-rampai, terdiri atas 4496
buah sajak, disusun antara abad ke-5 dengan abad ke-8 M.
Pada 31 Desember 1970 terdapat 145
organisasi Shinto yang tercatat sebagai lembaga resmi pada Kementrian
Pendidikan. Organisasi-organisasi tersebut dibedakan menjadi tiga, yaitu Jinja
Shinto, Kyoha Shinto, dan Shin Kyoha Shinto.
a.
Jinja Shinto
Sebagai
organisasi keagamaan, Jinja Shinto
adalah produk modern, dan belum ada sebelum 1868. Tempat-tempat suci Shinto
diatur dalam sistem tertentu, dab dimasukkan ke dalam suatu gabungan
tempat-tempat suci yang disebut Jinja Shinto.
Jumlah
keseluruhan tempat suci nasional Shinto pada tahun 1945 ada 218 dan ada 1.100
tempat suci lokal. Semuanya memperoleh bantuan dari pemerintah. Akan tetapi
semenjak di keluarkannya Pedoman Shinto, pada tahun 1945 semua tempat suci yang
berhubungan dengan pemerintah di putus hubungannya. Semenjak itu tempat-tempat
suci tersebut tercerai-berai. Pada 1946 dibentuklah sebuah organisasi bernama Jinja
Honcho (Persekutuan Tempat Suci Shinto). Tercatat pada 1968 terdapat 80.000
tempat suci yang bernaung dibawah Jinja Honcho.
b.
Kyoha Shinto
Menurut bahasa, Kyoha Shinto
berarti sekte Shinto. Sekte ini bermunculan pada tahun-tahun terakhir masa
Keshogunan Tokugawa (1603-1868) dan berkembang selama masa Kekaisaran Meiji
(1868-1912). Sekte-sekte ini biasanya sering disebut dengan aliran baru,
meskipun bukan berarti benih-benih ajarannya sebelumnya tidak pernah ada.
Dewa atau Kami yang dipuja oleh
sekte-sekte yang tergabung dalam Kyoha Shinto pada umumnya sama dengan
ajaran Shinto tradisional.
Sekte-sekte yang tergabung dalam Kyoha
Shinto jika menurut Kawawata Yuiken, dibagi menjadi tiga, yaitu:
1)
Sekte-sekte
tradisional, yakni sekte Shinto Taikyo, Shinto Shuseiha, Izumo Oyashirokyo,
Shinto Taisekyo, Shinsukyo, dan sekte Shinrikyo.
2)
Sekte-sekte
pemuja gunung, yaitu sekte Onitakekyo, sekte Fusokyo, dan sekte Jikkokyo.
3)
Sekte-sekte
yang didasarkan wahyu, seperti sekte Kurozumikyo, sekte Konkokyo, sekte
Misogikyo, dan sekte Tenrikyo.
Selanjutnya jika menurut Komite Shinto,
pembagian sekte dalam Kyoha Shinto dibagi menjadi lima, yaitu:
1)
Sekte-sekte
Shinto asli, sekte ini terdiri atas tiga sekte, yaitu sekte Shinto Taikyo, sekte
Shinrikyo, dan sekte Shinto Taishakyo.
2)
Sekte
Konfusianis, sekte ini banyak terpengaruh ajaran Konfusius, seperti sekte Shinto
Shuseiha dan sekte Shinto Taisekyo.
3)
Sekte pemuja
gunung, yakni sekte Jikkokyo, sekte Fusokyo, dan sekta Onitakekyo.
4)
Sekte
penyucian, sekte ini menekankan terhadap upacara-upacara penyucian. Sekte ini
terdiri dari sekte Shinshukyo dan sekte Misogikyo.
5)
Sekte kalangan
petani, yakni sekte Kurozumiko, sekte Konkokyo, dan sekte Tenrikyo.
c.
Shin Kyoha Shinto
Pada
pertengahan abad ke-19 banyak bermunculan bentuk-bentuk kepercayaan yang
sebelumnya kurang mendapat perhatian. Sesudah berakhirnya Perang Dunia ke-2,
pemerintah Jepang mengambil sikap netral terhadap semua agama. Hal inilah yang
kemudian dijadikan kesempatan oleh sekte-sekte Shinto, yang sebelumnya terpaksa
bergabung dengan sekte Shinto yang diakui oleh negara, untuk memisahkan diri.
Kelompok-kelompok inilah yang kemudian disebut dengan Shin Kyoha Shinto.
Jumlah sebenarnya sekte-sekte baru ini tidak diketahui
secara pasti. Semua sekte-sekte baru tersebut dapat dibedakan menjadi lima
macam, yaitu:
1) Sekte Monoteisme, sekte mempercayai bahwa
hanya ada satu dewa yang dianggap sebagai sumner segala wujud dan penciptaan
semua yang ada di alam semesta ini.
2) Sekte Honoteisme, sekte ini disamping
mempercayai adanya banyak dewa-dewa, juga menyatakan bahwa Dewi Matahari adalah
sumber dari segala gejala alam.
3) Sekte Politeisme, sekte ini memiliki
kepercayaan seperti halnya Shinto pada umumnya, yaitu percaya akan banyaknya
dewa-dewa yang di puja.
4) Sekte Messianisme, menurut sekte ini para dewa
membimbing dan memberi petunjuk manusia melalui wahyu yang diberikan kepada
pendirinya yang bertindak sebagai perantara antara manusia dengan Dewi
matahari.
5) Sekte yang terpengaruh Cina, ajaran-ajaran
didalam sekte ini banyak yang terpengaruh dengan ajaran-ajaran dari Cina.
Pada awalnya Shinto bukanlah sebuah
kepercayaan yang disadari langsung. Pada mulanya ajaran-ajaran Shinto tidaklah
tersusun secara rapi. Pada perkembangannya, kepercayaan ini diberi nama Shinto oleh
para biksu-biksu Buddha yang menyebarkan agama Buddha di Jepang. Nama Shinto
yang berarti Jalan Dewa, diberikan pada kepercayaan masyarakat Jepang pada
zaman dulu karena mereka melakukan pemujaan-pemujaan pada semua benda yang
mereka yakini mempunyai kekuatan tetapi tidak memiliki ajaran-ajaran yang
jelas. Karena itulah para Biksu-biksu Buddha memberi nama kepercayaan masyarakat
tersebut dengan nama Shinto atau Jalan Dewa.
Pada intinya, Shinto mengajarkan kepercayaan
pada banyak kekuatan yang disebut dengan Kami. Pemujaan terhadap Kami
dilakukan melalui berbagai macam bentuk upacara dan perayaan keagamaan yang
erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat Jepang. Jumlah Kami dalam
Shinto jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini karena Kami adalah
perwujudan kekuatan yang istimewa, menimbulkan rasa takut, maupun memiliki
kewibawaan. Oleh karena itu semua benda di dunia dapat menjadi Kami.
Diantara Kami yang sangat banyak, Dewi
Matahari mendapat kedudukan yang terhormat, setelah itu Dewi Kesuburan dan
Makanan.
Ada beberapa kitab yang di jadikan pedoman
para pengikut Shinto, antara lain Kojiki dan Nihongi. Kedua kitab
tersebuta adalah kitab-kitab tertua dalam ajaran Shinto. Kitab tersebut banyak
menceritakan asal-usul Jepang dan dewa-dewa yang ada dalam kepercayaan Shinto.
Seperti halnya agama-agama lainnya, di dalam
Shinto juga terdapat beberapa sekte-sekte. Sekte ini ada karena adanya
perbedaan baik dari segi konsep ketuhanan, sistem peribadatan maupun dalam
merayakan perayaan-perayaan atau yang biasa disebut Matsuri.
Daftar Pustaka
Djam'annuri, Syafaatun
Almirzahnah, dan Ustadi Hamzah. Agama Jepang. Yogyakarta: Bidang
Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Mansur, Sufa'at. Agama-Agama
Besar Masa Kini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Sou'yb, Joesoef. Agama-Agama
Besar Di Dunia. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983.