Selasa, 27 November 2018

Review: Upacara Tradisional Masyarakat Jawa karya Thomas Wiyasa Bratawidjaja


REVIEW BUKU
UPACARA TRADISIONAL MASYARAKAT JAWA
Karya: Thomas Wiyasa Bratawidjaja
Direview oleh: Tri Kodariya Nisa


Identitas Buku:
Judul buku                  : Upacara Tradisional Masyarakat Jawa
Pengarang                   : Thomas Wiyasa Bratawidjaja
Penerbit                       : Pustaka Sinar Harapan
Tahun terbit                 : 1988
Kota Terbit                  : Jakarta
Jumlah halaman           : 146 halaman
A.    Pengantar
Buku berjudul “Upacara Tradisional Masyarakat Jawa” merupakan buku yang disusun oleh Drs. Thomas Wiyasa Bratawidjaja. Beliau menyusun buku ini untuk melengkapi buku yang berjudul “Upacara Perkawinan Adat Jawa” karena buku tersebut dirasa masih memiliki banyak kekurangan, disana hanya membahas mengenai adat perkawinannya saja, sedangkan masih banyak upacara-upacara adat lainnya pada masyarakat Jawa. Penulisan buku ini juga dimaksudkan untuk menghimpun, menata dan menyunting kembali sesuai dengan perkembangan zaman dengan tidak mengurangi inti, makna, maksud dan dasar dari pelaksanaan berbagai upacara adat masyarakat Jawa. Buku ini disusun berdasarkan buku-buku lama, majalah-majalah populer, monografi, diktat-diktat serta pengamatan langsung proses pelaksanaan upacara adat.
Upacara adat adalah suatu upacara yang dilakukan secara turun-temurun yang berlaku didaerah tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa disetiap daerah memiliki upacara-upacara adat yang merupakan ciri khas dari tiap-tiap daerah. Upacara adat merupakan bentuk perwujudan dari adat istiadat itu sendiri. Upacara adat dalam masyarakat pada umumnya dan masyarakat Jawa khususnya ialah cerminan bahwa semua merupakan rencana, tindakan dan perbuatan yang telah diatur oleh tata nilai luhur. Tata nilai luhur inilah yang diwariskan kepada generasi ke generasi berikutnya.
Buku ini memaparkan berbagai tata upacara adat yang ada dalam masyarakat Jawa dari manusia itu masih dalam kandungan sampai pada kematian. Thomas Wiyasa membagi pembahasan dalam buku ini menjadi XVI bab yang didahului oleh bab pendahuluan. Beliau juga menambahkan lampiran berupa tabel serta penjelasan-penjelasan terkait dengan tata cara penentuan tanggal atau waktu kapan yang tepat untuk melakukan upacara-upacara adat tersebut.
B.     Pembahasan
Nilai-nilai dan norma-norma itu dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat yang pada akhirnya menjadi adat istiadat. Masyarakat Jawa memiliki bermacam upacara tradisional yang merupakan pencerminan bahwa semua perencanaan, tindakan dan perbuatan telah diatur oleh tata nilai yang luhur. Dalam buku Upacara Tradisional Masyarakat Jawa, menjelaskan upacara-upacara adat Jawa mulai dari alasan mengapa dilakukan upacara tersebut sampai pada proses dan hal-hal apa saja yang diperlukan dalam upacara itu.
Ada empat upacara dan selamatan yang diterangkan yakni selamatan bagi wanita hamil sampai melahirkan, upacara tingkeban, upacara tedak Siten dan upacara ruwatan.
Ø  Selamatan bagi wanita hamil sampai melahirkan merupakan sebuah selamatan yang hendaknya diadakan untuk keselamatan sang bayi. Selamatan ini diadakan pada saat kandungan berusia dua bulan, empat bulan, tujuh bulan dan sembilan bulan. Selain selamatan, ada juga tata cara untuk merawat bayi yang sudah lahir. Setelah bayi itu lahir, perawatan pertama dimulai dari ari-ari (plasenta) dimasukkan kedalam kendi dan dikubur dalam tanah dekat rumah. Kemudian diadakan selamatan untuk bayi berdasarkan hari kelahirannya, isi dari selamatan ini juga sudah ada ketentuannya menurut hari lahirnya si bayi. Selamatan sepasaran dilaksanakan saat bayi berusia lima hari, selamatan ini sekaligus sebagai pemberian nama kepada si bayi. Berikutnya ada selamatan selapanan dilakukan saat bayi berusia 35 hari, ini berguna untuk tulak balak atau agar tidak terkena guna-guna dan terlepas dari segala macam bahaya. Apaila anak perempuan telah berusia 8 tahun, diadakan selamatan tetesan atau dikenal dengan sunatan, dan selamatan khitanan untuk anak laki-laki berusia 13-15 tahun.
Ø  Upacara tingkeban, yakni upacara yang dilaksanakan saat usia kandungan memasuki tujuh bulan. Dalam upacara ini terdapat ritual siraman atau memandikan calon ibu dengan air kembang setaman disertai doa-doa. Siraman ini dilakukan oleh tujuh orang wanita sesepuh, ayah dan ibu, kedua mertua dan juga keluarga terdekat.
Ø  Upacara tedak siten, dilakukan bilamana si anak berusia tujuh lapan yaitu 7x35 hari. Tedak siten atau turun tanah, memperkenalkan anak untuk pertama kalinya kepada bumi. Upacara ini dilakukan dengan pengharapan agar kelak si anak kuat dan mampu berdiri sendiri dalam menghadapi rintangan kehidupan.
Ø  Upacara ruwatan, yakni upacara yang diadakan untuk membebaskan anak dari aib dan dosa serta menghindarkan diri dari malapetaka. Upacara ruwatan dipimpin oleh seorang dalang yang sudah sepuh atau sudah berpengalaman.
Pada buku ini juga dijelaskan konsep pendidikan remaja, setiap anak dididik agar selalu berbakti kepada orang tua dan membawa nama baik orang tua dan semua keluarga, menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa. Ada beberapa konsep pendidikan yang digunakan masyarakat Jawa, diantaranya hiduplah prihatin, kesetiaan kebenaran dan kejujuran, sikap hati-hati dan selalu waspada, pendidikan keutamaan dan lain sebagainya.
Berikutnya yang dibahas ialah watak manusia yang dilihat dari tanggal kelahirannya, wuku dan sifat atau tabiatnya. Masyarakat Jawa percaya bahwa setiap anak memiliki karakter dan sifat yang berbeda-beda sesuai dengan tanggal kelahirannya. Tanggal yang dimasukkan adalah tanggal perhitungan bulan Jawa, hal ini dapat dilihat dalam kalender-kalender nasional yang dilengkapi tanggal/bulan Jawa. Wuku juga masih dikenal oleh masyarakat Jawa untuk perhitungan waktu dan wuku berhubungan dengan tingkah laku atau tabiat manusia. Wuku dapat dikatakan ilmu perbintangan  atau astronomi, wuku dihubungkan dengan hari dan weton dari kelahiran seseorang dan bukan dikaitan dengan bulan dan tanggal kelahiran.
Buku karangan Thomas Wiyasa ini juga memberikan penjelasan mengenai sifat-sifat bulan Jawa. Masyarakat Jawa akan segera mengetahui saat-saat yang baik dalam melakukan segala sesuatu dengan melihat tanggal dan bulan Jawa. Selain itu, juga dijelaskan manfaat mengadakan selamatan pada bulan-bulan tersebut. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa siapa saja yang suka rela mengadakan selamatan bulan untuk persembahan dengan tulus dan ihklas, maka akan mendapatkan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Selamatan ini juga dapat memudah rezeki, mendapatkan keuntungan dijauhkan dari marabahaya dan diberikan derajat luhur. Hal ini juga mempermudah seseorang dalam segala upayanya dengan catatan tidak bertentangan dengan ajaran Tuhan Allah Yang Maha Pemurah. Misalnya pada bulan Muharam sedekah selamatan dilakukan pada tanggal 8 atau pada hari Jumat. Sedekahnya berupa bubur yang dicampuri botor (biji kecipir), jagung, kacang, gude (sejenis kacang-kacangan), klungsu (biji asam), kemangi, kacang hijau, merica putih, dan isi delima. Pelengkapnya kembang konyoh, dupa (ratus) atau menyan, madu, uang semampunya, doa yang dipersembahkan kepada Baginda Hasan-Husein.
Cara membangun dan memperbaiki rumah pun juga terdapat dalam buku ini. Membangun dan memperbaiki rumah hendaknya menunggu saat yang baik dengan maksud agar cepat selesai dan selamat tidak ada halangan. Saat baik yang dimaksud adalah mengenai hari dan saat mulai mengerjakan pembangunan rumah, misalnya jika dilaksanakan pada hari senin, maka dimulai pilih salah satu pukul 08.00; 10.00; 13.00; 15.00; atau pukul 17.00. Selain memilih jam mulai juga memilih bulan yang pas untuk membangun atau memperbaiki rumah. Saat yang baik yakni pada bulan Ba’damulud atau Rabi’ul Akhir sampai Dzulkaidah, apabila dikerjakan pada bulan Besar atau Dzulhijjah sampai Mulud atau Rabi’ul Awal maka akan mendapat celaka.
Masyarakat Jawa memiliki sistem kekerabatan yang didasarkan pada prinsip bilateral. Semua kakak pria maupun wanita beserta istri ataupun suami masing-masing diklasifikasikan menjadi satu dengan satu islitah siwa atau uwa. Adapun adik-adik dari ayah maupun ibu juga diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin. Paman untuk adik laki-laki dan bibi untuk adik perempuan. Adat pernikahan dalam masyarakat Jawa tidak memperbolehkan dua orang menikah apabila mereka merupakan saudara sekandung, apabila mereka adalah anak dari dua orang pria yang sekandung, saudara sepupu, dan apabila pihak pria lebih muda dari pihak wanita.
Bentuk pernikahan lain yang diperbolehkan disebut ngarang wulu serta wayuh. Pernikahan ngarang wulu adalah menikahnya duda karena istrinya meninggal dunia dengan adik atau salah satu adik dari almarhumah istrinya, dengan syarat harus sudah mencapai selama 100 hari istrinya wafat. Pernikahan ini adalah menikahnya seorang pria dengan lebih dari satu wanita (poligami).
Masyarakat Jawa memiliki peraturan dalam menyandang gelar yang mana tidak semua orang dapat menyandang gelar. Pada saat ini, keluarga bangsawan Yogyakarta ataupun Surakarta, sudah terpancar keseluruh Indonesia. Mereka yang mendapat gelar ada yang masih menyantumkan titel kebangsawanannya, dan juga ada yang tidak ingin dicantumkan. Ada pula yang menyantumkan titelnya sewaktu-waktu atau disaat tertentu. Apabila bangsawan tersebut sebagai pejabat pemerintah, titel kebangsawanannya tidak disandang, cukup menyandang jabatannya saja. Orang-orang yang berhak menyandang gelar “raden mas” adalah semua keturunan raja baik keturunan pria maupun wanita.
Buku ini juga memberikan informasi kepada pembaca terkait dengan ramuan-ramuan obat untuk wanita hamil, seperti ramuan minyak kelapa dicampur dengan perasan kunyit dan air digunakan untuk wanita yang sedang hamil supaya lancar bila melahirkan. Ramuan ini diminum sejak hamil 6 sampai 8 bulan, setiap hari tiga kali satu sendok makan. Ramuan khusus untuk kehamilan umur 1 sampai 3 bulan, ramuan obat yang digunakan yakni dringo, bangle, kunyit, temulawak, cabe, bawang putih, temukus, lempuyang, kembang sepatu, dipipis sampai halus dan diberi air matang.
Setelah dijelaskan perawatan anak dari lahir hingga mendapat gelar-gelar yang sudah disebutkan diatas, akhirnya pengarang juga memaparkan mengenai tata cara perawatan jenazah. Menjelang meninggal dunia, seseorang sudah mendapatkan tanda-tanda sehingga dapat memperkirakan saatnya meninggal, meskipun hal ini tidak selalu tepat namun apabila meleset, hanya beberapa menit saja. Apabila waktu yang telah diperhitungkan tidak sesuai, tentu ada sebab-sebabnya seperti memiliki pusaka, kesaktian, dan memiliki ilmu-ilmu lainnya sebagai penguat diri.
Pada saat jenazah dibaringkan, perlu diberi garis dengan kunyit sampai tebal. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir bau yang dikeluarkan oleh jenazah. Selain itu, hendaknya jenazah tidak dimandikan terlebih dahulu jika menunggu dikebumikan lebih dari 24 jam. Setelah jenazah dibaringkan dengan rapi, pihak keluarga memberitahukan kepada tetangga sekitar dan sanak saudara yang jauh. Sementara menunggu saudara yang jauh, pihak keluarga berunding mengenai tata cara perawatan jenazah sebaik-baiknya. Perawatan jenazah pada masyarakat Jawa, yakni menyucikan atau memandikan, menata atau merapikan jenazah, mengadakan upacara doa,  penghormatan terakhir kepada jenazah, dan upacara pemakaman. Setelah melalui tahap-tahap tersebut, terdapat acara selamatan untuk orang meninggal. Adapun selamatannya adalah selamatan pada hari geblak, yakni dilakukan tepat dihari meninggalnya. Selamatan yang diadakan ialah nasi putih yang di atasnya diletakkan nasi tumpeng terbelah dua beserta dengan lauknya, seperti sambal goreng, semur buncis, bihun goreng, irisan telur dadar, dan lain sebagainya. Selamatan ini juga dihidangkan dalam selamatan hari ketiga (telung dinane), hari ketujuh, hari keempat puluh, hari keseratus, mendak sepisan (satu tahun sesudah meninggal), mendak pindo (dua tahun sesudah meninggal), mendak telu/nyewu (tiga tahun sesudah meninggal) atau hari keseribu.
C.    Komentar
Berdasarkan penjelasan secara detil dan disertakan foto terkait dengan beberapa ritual serta menyertakan lampiran yang memberikan informasi kepada pembaca disajikan dalam bentuk tabel, buku ini dapat memberikan pemahaman secara gamblang kepada pembaca. Penulis juga menjelaskan beberapa istilah Jawa, namun ada istilah yang belum pereview pahami seperti dalam penggambaran mengenai upacara ruwatan, penulis belum menjelaskan secara spesifik mengenai upacara tersebut. Buku ini merupakan buku yang ringan untuk dibaca, karena buku ini tidak menekan pembaca untuk berpikir secara mendalam. Buku Upacara Tradisional Masyarakat Jawa menambahkan wawasan kepada pembaca non Jawa umumnya dan pemahaman pada masyarakat Jawa khususnya.